Daftar Blog Saya

Senin, 25 Juni 2012

Konsep Berduka



Konsep Berduka
A.    Definisi Berduka
Dukacita adalah respon normal terhadap setiap kehilangan. Perilaku dan perasaan yang berkaitan dengan proses berduka terjadi pada individu yang menderita kehilangan seperti kehilangan fisisk atau kematian teman dekat
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

B.     Jenis Berduka
  1. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menari diri dari aktivitas untuk sementara.
  2. Berduka antisipatif, yaitu proses’melepaskan diri’ yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi.Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan beragai urusan didunia sebelum ajalnya tiba.
  3. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
  4. Berduka tertutup, yaitu kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.Contohnya:Kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

C.    Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
  1. Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
  1. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
  1. Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
  1. Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.

  1. Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross pada tahun 1969 adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a.       Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b.      Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
c.       Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d.      Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e.       Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.

3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

1.    Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a.       Penghindaran
b.      Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
c.       Konfrontasi
d.      Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
e.       Akomodasi
f.       Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

D.    Respons Berduka
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut (Kubler-Ross, dalam Potter dan Perry,1997)
PengingkaranàMarahàTawaràMenawaràDepresiàPenerimaan
1. Tahap Pengingkaran. Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau mengingkarikenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih,lemah,pucat,mual,diare,gangguan pernafasan,detak jantung cepat,menangis,gelisah,dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa.Reaksi ini dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa tahun.
2.Tahap Marah. Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri.Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak berkompeten. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.
3.Tahap Tawar-menawar. Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
4.Tahap depresi. Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat menurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur, letih, dan lain-lain.
5.Tahap Penerimaan. Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yg hilang akan mulai berkurang atau bahkan hilang. Perhatiannya akan beralih pada objek yg baru.Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses kehilangan secara tuntas.Kegagalan untuk masuk ke proses ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

E.     Tugas Berduka :
Tugas 1 : menerima kenyataan akan merasa kehilangan ,tugas 1 mluibatkan proses penerimaan bahwa individu atau objek tersebut telah pergi dan tidak akan kembali.
Tugas 2 : melewati rasa nyeri akan berduka , individu memberikan reaksi berupa kesedihan ,kesendiriaan ,keputusasaan, atau penyesalan dan akan bekerja melalui perasaan nyeri dengan mengguna kan mekanisme adaptasi  paling di kenal dan nyaman bagi mereka.
Tugas 3: beradaptasi dengan lingkungan , dimana orang tersebut meninggal . seorang individu tidak menyadari sepenuhnya dampak dari rasa kehilangan selama minimal 3 bulan . anggota keluarga atau teman memberikan sedikit perhatian kepada individu yang  merasa kehilangngan dalam jangka waktu  yang sama., sebagaimana akhir dari rasa kehilangan menjadi kenyataan.

F.     Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Rasa Berduka .
1.      Perkembangan manusia , usia klien dan tahap perkembangan mempengaruhi respon terhadap berduka .sebagai contoh : anak –anak  tidak dapat memahami rasa kehilangan atau kematian, tapi sering merasakan kecemasan akibat kehilangan objek dan terpisah dari orang tua.
2.      Hubungan personal : ketika rasa kehilangan melibatkan individu lain,  berkualitas dan arti hubungan yang hilang akan mempengaruhi respon terhadap berduka. Dukungan sosial  dalam pemulihan dar rasa kehilangan dan berduka.
3.      membantu perawat memahami secara lebih baik damapak dirasa kehilangan pada prilaku kesehatan dan kesejahteraan klien.  Tekanan  akbibat kematian yang tidak diharapkan dan tiba-tiba memberikan tantangan yang berbeda  dibanding dengan kematian karena penyakit kronis.
4.      Stress koping : pengalaman hidup memberikan strategi koping yang digunakan sesorang untuk mengatasi tekanan rasa kehilangan. Ketika strategi koping yang biasanya tidak berhasil individu memerlukan strategi yang baru.
5.      Status sosial ekonomi : status , sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan sesorang untuk memasukkan dukungan dan sunber daya untuk beradaptasi dengan rasa kehilangan dan respon fisik terhadap tekanan. Ketika individu kekurangan sumber daya financial beban kehilangan menjadi berlipat. Sebagai contoh seorang klien dengan keterbatasan keuangan tidak dapat mengganti mobil yang rusak akibat kecelakaaan dan membayar tagihan pengobatanakinat kecelakaan tersebut.
6.      Budaya dan etnik : budaya seseorang dan struktur sosial lainnya (misalnya keluarga atau keanggotaan keagamaan) mempengaruhi interpretasi terhadp rasa kehilangan, membangun pengungkapan berduka yang dapat diterima , serta menyelengarakan stabilitas dan struktur di tengah kekacauan dan rasa kehilangan.

G.    Konsep Tentang Persiapan Selama Berduka
1.      Komunikasi dengan Pasien dan Keluarga dalam Suasana Duka
Berkomunikasi dengan pasien tidaklah mudah. Pengaruh gangguan fisik beserta penatalaksanaannya maupun kondisi emosi yang menyertai serta terlalu banyaknya beban fikiran, kemungkinan besar menyebabkan kurangnya fokus perhatian dalam proses mendengarkan (sensory overload), gangguan dalam mengolah isi dan makna pesan ( inti pembicaraan) sehingga tidak jarang menimbulkan salah persepsi dan salah interpretasi sehingga terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan, dan sering kali tidak tersimpan dengan baik dalam daya ingat (memory) sehingga acapkali menjadi pencetus keretakan hubungan interpersonal di kemudian hari.
Karena itu berkomunikasi dengan si sakit maupun keluarga harus berhati-hati. Pertama yang harus diingat, jadilah pendengar yang baik. Untuk menghindari salah persepsi dan salah mengambil keputusan seringlah mengulangi isi pesan yang akan dikomunikasikan dengan kalimat pen dek tapi jelas, dengan contoh yang konkrit dan diulangulang. Bantuan tulisan , denah/flow chart bahkan gambar dikertas sangat membantu. Kertas tersebut juga dapat dipakai sebagai arsip, minimal untuk mengingat kan kembali pembahasan yang terdahulu.
Komunikasi juga dapat dilakukan secara non-verbal, bahkan lebih dipercaya daripada komunikasi verbal. Bahasa tubuh penderita, misalnya perilaku sakit ( pain behavior ) akan lebih mudah dipercaya, sebaliknya penampilan anggota tim medis yang merawat juga dapat menimbulkan salah persepsi. Komunikasi  dengan si sakit agak berbeda dengan komunikasi antar teman sejawat ditempat kerjamisalnya, karena menc akup riwayat sosial atau profil pasien dan riwayat spiritual. Riwayat sosial atau profil pasien menurut Puchalski adalah sebagai berikut :
a.       Gaya hidup, situasi rumah dan ikatan keluarga (inti)
b.      Ikatan dengan orang/keluarga besar/organisasi yang penting
c.       Hal yang terkait dengan keagamaan, kepercayaan dan nilai hidup  (religious &
belief system)
d.      Kedudukan, fungsi dan  situasi pekerjaan
e.       Fungsi sosial  (social interest/avocation )
f.       Stres kehidupan
g.      Gaya hidup yang berisiko : merokok, konsumsi alkohol/zat terlarang
Kebutuhan si sakit akan mudah dapat ditangkap , dianalisis dan dibahas melalui komunikasi efektif, dimana terdapat persyaratan jujur dan terbuka (genuiness ), tidak posesif (non possessive love) dan empati.Ada persyaratan lain yang harus dipenuhi, yaitu menjaga kerahasiaan. Banyak pasien yang menginginkan kondisi terminalnya tidak disampaikan kepada keluarganya. Susah memang, tetapi keinginan ini harusnya dipenuhi sebagai bagian dari etik keperawatan . Aspek medikolegal juga harus diperhitungkan dalam menjaga kerahasiaan ini. Sebagai contoh, bilamana kematian tetap tidak dapat dicegah dan jenis maupun kwalitas perawatannya tidak sesuai dengan harapan keluarga ada kemungkinan ketidak puasan ini dapat menjadi masalah dikemudian hari.
Komunikasi dua arah antara pasien dan keluarga disatu pihak dan tim medis dip ihak lain harus dapat menyimpulkan kondisi fisik dan emosi penderita sehingga perencanaan akhir hayat dapat dilaksanakan dengan tepat. Agar isi pesan dapat diterima maka jangan dilupakam kalau manus ia yang adalah mahluk biopsikososiospir itual, memiliki 4 u nsur sehingga demensi penderita dengan keadaan terminal adalah :
a.       Demensi fisik : penyakit utama, nyeri dan gejala lain berikut penanganannya
b.      Demensi psikologis : gangguan suasana mood (cemas , depresi dan marah)
c.       Demensi sosial : kwalitas hubungan interpersonal terutama dengan keluarga inti ,isolasi sosial dan  kondisi ekonomi
d.      Demensi  spiritual : nilai/ tujuan hidup, ikatan dengan leluhur dan kehidupan beragama.

2.      Pendampingan Saat Menyampaikan Berita Duka
Tidak semua penderita terminal mengerti tentang keadaan penyakit yang dideritanya dengan sebenarnya. Ada dua kemungkinan, yaitu karena adanya ketidak-tahuan atau adanya penyangkalan (denial) dari penderita. Pada umumnya dokter utama yang merawat akan membuka/memberitahukan keadaan sebenarnya. Reaksi seseorang tergantung apa yang dipersepsikannya. Reaksi  pertama dapat berupa shock mental yang  dapat berupa bingung lemas dan tak dapat merasakan apa apa (numbness), ada pula yang langsung menangis dan menunjukkan ekspresi keputus -asaan atausebaliknya ada yang langsung marah bahkan mengamuk.
Penderita harus diberi kesemptan untuk mengekspresikan emosinya dan karena itu diperlukan waktu untuk dapat menenangkan diri dan berfikir jernih kembali. Dibutuhkan kesabaran dalam pendampingan dan diberikan tanpa pemaksaan. Apa yang harus dilakukan adalah membantu penderita melalui tahap -tahap terhadap ancaman kematian yang di lukiskan oleh Elizabeth Kubler -Ross dengan urutan tahap penolakan (denial),tahap amarah (anger), tahap tawar menawar (bargaining), tahap depresi dan tahap pasrah (acceptance).
Diharapkan kemunduran kekuatan fisik maupun gangguan psikologis masih belum begitu parah sehingga penderita masih dapat mengerjakan tugas-tugas akhir misalnya menulis wasiat, memberikan wejangan, ilmu dan ke trampilan bahkan harta pada mereka yang diingin kannya dengan fikiran yang jernih.Diantara penderita ada yang menginginkan kes endirian , menyepi untuk mengembalikan semua energi agar dapat bangkit kembali. Sementara itu ada yang terus men erus memerlukan pendampingan dengan pelbagai alasan walaupun yang terbanyak adalah rasa takut berlebihan, cemas dan putus asa. Dalam kondisi shock ini acapkali tim medis perlu menimbulkan rasa percaya pada penderita dan keluarga sehingga dapat melakukan krisis intervensi.
3.      Merencanakan Tugas Akhir Pasien dan keluarga Dalam suasana Duka
Tujuan perawatan akhir hayat adalah memberi kualitas hidup yang baik, sehingga penderita masih dapat memiliki hidup  penuh arti (a meaningful life).   Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri. Dengan modalitas fisik yang tersisa, kekuatan psikologis yang maksimal dan adanya pengertian dan suport keluarga, penderita menyusun kembali nilai hidup atau tujuan hidupnya  se-realistis mungkin agar dapat dilaksanakan.Hidup penuh arti yang sangat spesifik dan unik tidak boleh dipengaruhi dan diintervensi oleh si pendamping kecuali bila yang diinginkan itu tidak lazim dan tidak semestinya dilakukan berdasarkan kepribadian dasar , tingkat pendidikan, kedudukan sosial, budaya setempat, kondisi ekonomi dan kehidupan spiritual penderita.
Gangguan/penyakit yang menimpa penderita menimbulkan krisis kehidupan dan perubahan besar ditempat kerja. Bagi mereka yang menggunakan fungsi kognitif yang tinggi dan terpaterinya hubungan interpersonal yang luas,inilah y ang merupakan merupakan hidup pen uh arti dan sekaligus merupakan kekuatan hidup (Drench et al.2007). Karena itu tugas pendamping bukan saja menghibur tetapi merubah pola fikir dengan cara melihat apek kehidupan dari sudut pandang yang lain sehingga masih m erasa berdaya guna. Proses inilah yang disebut cognitive reframing dan merupakan inti dari pendampingan merencanakan sekaligus menyelesaikan tugas akhir didunia ini.
Pendampingan diakhir hayat hendaknya selalu mempertimbangkan kebutuhan si sakit, terutamadi saat-saat penderita secara fisik sudah melemah. Sebagai manusia yang holistik, maka perlu pendekatan secara holistik pula dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
a.       Kebutuhan fisik yaitu terbebasnya penderita dari berbagai macam keluhan atau penderitaan/gejala fisik yang mengganggu. Perhatian dan pengamatan yang cermat dan terinci terhadap setiap keluhan yang disampaikan penderita merupakan hal yang penting untuk dapat membuat diagnosa yang tepat dan selanju tnya untuk menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi keluhan tersebut.
b.      Kebutuhan psikologik berupa:
ü  Rasa aman dan nyaman karena keyakinan bahwa dirinya berada dalamperawatan oleh para ahli yang kompeten dan keluarga/care giversyang peduli dengan kea daannya
ü  Kebutuhan untuk mengetahui tentang penyakit yang dideritanya sertagejala-gejala yang sedang/akan dialaminya sehingga penderita tidak berada dalam keadaan ketidak-pastian yang berkepanjangan
ü  Penderita juga ingin untuk tetap dihargai dan dianggap ma mpu, dengan cara melibatkannya dalam mengambil keputusan -keputusanyang terkait dengan dirinya terutama bila secara fisik ia menjadi sangat tergantung pada orang lain.

c.       Kebutuhan sosial :
ü  Perasaan tetap diterima oleh keluarga/care-givers-nya walaupun penampilan /perilakunya sering kali tidak menyenangkan.
ü  Perasaan tetap dibutuhkan, dilibatkan dan diperhitungkan dalam keluarganya sehingga penderita tidak merasa menjadi beban bagikeluarganya.
ü  Kesempatan bagi penderita untuk membebaskan diri dari keterikatannya dengan orang lain dan dibebaskan dari berbagaitanggung jawab dalam pekerjaan/keluarga yang sebelumnya dipikul penderita dengan menyerahkannya kepada orang lain.
d.      Kebutuhan spiritual :
ü  Kasih sayang yang diexpresikan secara nyata seperti jabat tangan, sentuhan, strokes atau belaian.
ü  Kesempatan untuk memperbaiki hubungan -hubungan interpersonalyang terganggu diwaktu yang lalu, serta mendapatkan pengampunan atas kesalahan-kesalahannya dimasa lalu.
ü  Keyakinan bahwa dirinya tetap dicintai dan dihargai.
ü  Perasaan bahwa hidupnya tetap mempunyai arah/tujuan yang jelas dan berarti bagi sesamanya.

4.      Pendampingan Dalam Masa Berduka
Baik penderita maupun keluarga pasti mengalami fase dukacita pasca breaking bad news . Menjelang kematian ada fase mengantisipasi dukacita (anticipatory grief ) dan setelah kematian penderita ada fase dukacita keluarga (conventional grief ) yang fase-fasenya seperti apa yang digambarkan Elizaberh Kubler -Ross. Lamanya bisa berlangsung sampai 2 -3 tahun pascakematian.Sanders (1989) yang mencetuskan Integrative theory of bereavement , mengatakan bahwa ada 5 tahapan yang akan dilalui orang dalam berdukacita yaitu :
a.       Tahap Shock: ada rasa tidak percaya musibah terjadi pada dirinya, fase ini dilalui dengan rasa tidak berdaya walaupun melakukan tugas sekecil  apapun.
b.      Tahap mencapai kesadaran diri (awareness of loss ) : orang mulai menyadari bahwa iakehilangan salah satu/beberapa aspek kehidupannya. Sering pemikiran yang faktuil ini justru ditolak mereka yang terkena musibah.
c.       Tahap menarik diri (conversation an d withdrawal ) : fase ini dilalui dengan rasa letih berlebihan, bertanya pada diri sendiri seputar rasa kehilangan t ersebut, sering mengisolir diri dan menolak melakuk an pekerjaan bahkan yang dulu sangat diminatinya.
d.      Tahap penyembuhan  (healing) : fase ini memperlihatkan orang yang mulai bangkit kembali dari keterpurukannya. Pada awal fase ini orang acapkali merasa heran dengan dirinya yang mulai dapat tertawa, bercanda bahkan kondisi ini acapkali menimbulkan rasa bersalah pada dirinya d an acapkali membuatny a mundur kembali.
e.       Tahap lembaran baru  (renewal ) : pada akhirnya orang yang berduka cita mulai   melibatkan diri dalam semua aspek kehidupannya dengan kondisi barunya.
Dari teori yang diajukan Sanders ini perlu diperhatikan penderita yang mengantisipasi kematiannya dengan melalui tahap-tahap ini sebelum dapat merencanakan tugas dan kewajiban akhirnya. Dalam hal pendampingan ini , penderita maupun keluarga butuh pengertian dan bukan pemaksaan kehendak pendamping atau kehendak keluarga walaupun mungki n hal itu baikbaginya. Bila pendampingan tidak baik maka ada kemungkinan tahap penyembuhan apalagi tahap lembaran baru tidak tercapai sehingga tugas akhir penderita tidak terselesaikan.
Meninggal dunia dengan kondisi dimana penderita sadar benar bahwa tugas dunianya tak terselesaikan akan melibatkan emosi yang pasti akan mengganggu tahap kematiannya. Kondisi ini sering disebut sebagai the unfinished bussiness suatu kondisi berlawanan dengan kematian dalam iman yang sering disebut  good-death.Mendampingi penderita bukanlah hal yang mudah.
Pengasuh (caregiver ) sering mengeluhkan kondisi perubahan negatif perilaku penderita pada tim dokter. Kegelisahan penderita menyebabkan perlunya penambahan energi fisik dan pemusatan perhatian di pihak pengasuh . Kegelisahan mungki n karena distress penderita mengenai keadaannya yang buruk. Tetapiperilaku “manis” yang ditunjukkan dengan berdiam diri, pasif , kecend erungan mengisolir diri, serta menolak makan dan minum juga bukan hal yang baik.
Sering kali kondisi delierium dan depresi berat ditunjukkan dengan penelantaran diri seperti perilaku manis tadi. Hati-hatilah dengan penelantaran dan penyiksaan diri, karena hal ini kemungkinan juga merupakan upayabunuh diri yang terselubung. Reaksi keluarga pada saat ditinggalkan penderita bermacam macam, reaksi psikologis seperti sedih, marah , kecewa dan reaksi fisik sep erti rasa lelah, sesak napas, sukar menelan dsb.
Bagi keluarga yang ditinggalkan bila pendampingan duka cita tidak terlaksana dengan baik juga akan menimbulkan kondisi dukacit a yang tidak baik bahkan potensial menimbulkan gangguan jiwa. Sebagai contoh bila tahap dukacita berhenti pada keadaan penarikan diri maka akan terjadi gangguan neurosis atau psikosomatis. Keadaan dimana anggauta keluarga selalu dalam kondisi cemas dan depresi atau mengidap gangguan fisik akibat tekanan jiwanya (misalnya dikalangan awam “sakit maag”) dan hal ini pasti mengganggu fungsi kehidupan.Worden (2002), memberi 4 gambaran tugas dalam berduka cita (Task of Mourning ) yaitu :
a.       Menerima rasa kehilangan  (accept the reality of loss )
b.      Menjalani rasa nyeri yang berhubungan dengan dukacita ini ( experience the pain associated with grief )
c.       Menyesuaikan diri dengan kehidupan/lingkun gan baru setelah ditinggalkan (adjust to circumstances created by loss )
d.      Melanjutkan jalannya roda kehidupan tanpa yang telah meninggal ( emotionallyrelocate the person who has died and progress with life )Bilamana terjadi hambatan dalam masa dukacita ini maka dapat terjadi griefing yang abnormal atau complicated mourning dalam bentuk sebagai berikut :
ü  Chronic grief reactions
ü  Delayed grief reactions
ü  Exaggerated grief reactions
ü  Masked grief reactions

5.      Pendampingan Saat Kematian
Skala status penampilan Karnofski adalah salah satu alat ukur untuk menilai kualitas hidup seseorang dengan menilai status penampilan fungsionalnya. Skala ini mengukur kemampuan penderita dalam melakukan aktifitas hidup sehari -hari dan nilainya berkisar antara 0 -100. Skala ini juga dapat dipakai untuk menilai manfaat suatu tindakan terapi/pengobatan dengan membandingkan nilai sebelum dan sesudah suatu tindakan, tetapi tidak memberikan gambaran tentang tingkat keparahan suatu penyakit. Bersama dengan penilaian lain seperti stadium penyakit maka skala ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kondisi terminal yang  perlu mendapatkan perhatian kita. Skala status penampilan Karnofsky dap at dilihat pada tabel terlampir Silvya Post (dalam Mahajudin 2007) mengatakan lebih 70% penderita sangat ketakutanmenjelang ajal sehingga mereka pasti perlu pendampingan.
Acap kali dalam kesadaran menurun indra pendengaran tetap berfungsi sehingga tidak salah membisikkan hal -hal positif maupun ayat suci (yang pendek) agar dapat diresapi sampai akhir hayat. Tugas tim medis pada saat kematian adalah meniadakan atau mengurangi rasa nyeri a tau gejala lain agar penderita masih mendapatkan kwalitas hidup yang maksimal. Tetapi acapkali penderita justru mengalami kebingungan menjelang terminal ( terminal confusion ), depresi atau kecemasan.
Terminal confusion ialah keadaan kebingungan pada pende rita stadium terminal yang disebabkan karena perubahan akut yang menyeluruh/global pada fungsi kognitif dan hal ini sering kalimerupakan pertanda awal kematian yang makin mendekat. Kondisi ini sering kali juga disebut delirium, acute confusional state, ac ute organic brain syndrome atau toxic confusional state.Tidak ada gejala yang khas/patognomonik pada kondisi ini tetapi J.C.Cutting mengemukakan adanya beberapa gejala yang sering dijumpai seperti :
a.       gangguan recall 5 menit untuk nama dan alamat ( 80% )
b.      gangguan kesadaran ( 60% )
c.       disorientasi waktu ( 40% )
d.      disorientasi tempat ( 30% ).
Z.J.Lipowski mengemukakan 2 tipe delirium yaitu yang hipoaktif dan hiperaktif. Tipe hipoaktif ditandai dengan penurunan aktifitas psikomotorik, penurunan respons terhadaprangsangan dari luar ( penurunan atensi dan kesadaran ) dan jarang didapatkan gejala -gejalapsikotik. Pada tipe hiperaktif sering kali terlihat peningkatan aktifitas psikomotorik, peningkatan respons ( hyperalert dan agitasi ) dan sering dijumpai gejala psikotik. Gejala hiperaktif biasanya didahului oleh gejala hipoaktif karena secara klinis gejala ini cenderung berfluktuasi. Dalam hal ini catatan harian yang cermat oleh perawat atau keluarga/care-giversangat penting untuk penegakan diagnosis, terlebih dahulu harus disingkirkan berbagai faktor etiologi yang sering menjadi penyebab delirium yang biasanya multifaktorial antara lain obat -obatan yang dipakai penderita, infeksi, kelainan metabolik ( hiperkalsemia, hipoglikemia ), tumor serebri, nyeri, kandung kemih/rektum yang penuh, dan juga gangguan fungsi hati dan ginjal, gagaljantung, hipoksia karena gagal pernafasan, CVA, epilepsi dan sebagainya. Terapi spesifik untuk penyebab yang reversibel merupakan hal yang utama.
Selanjutnya terminal confusionperlu diatasi secara simptomatis dan adekuat hanya bila gejala tersebut menimbulkan gangguan dan penderitaan bagi penderita. Perlu juga dilakukan tindakan non -farmakologik sepertimenciptakan lingkungan yang tenang dan terang, komunikasi yang efektif dan lain- lain.Kebanyakan penderita dengan penyakit khronis yang serius menunjukkan tanda-tanda kesedihan, cemas dan gejala -gejala depresi. Tanda dan gejala ini biasanya berlangsung singkatsebagai reaksi terhadap situasi yang dihadapinya dan bila persisten harus d inilai sebagai halyang abnormal dan perlu mendapatkan perhatian secara khusus.
Depresi yang berkepanjangan dapat menjadi sumber penderitaan dan karenanya perlu dinilai dan dideteksi secara dini. Lagi pula semakin dini diagnosis ditegakkan semakin baik pul a responsnya terhadap terapi yangdiberikan. Faktor risiko untuk terjadinya depresi antara lain rasa nyeri yang tidak terkontrol dengan baik, hendaya fisik yang progresif dan tingkat keparahan penyakit yang dideritanya, riwayat depresi diwaktu yang lalu, obat-obatan yang dipakai (steroid, benzodiazepine) serta depresi yang secara langsung disebabkan oleh penyakitnya ( kanker pankreas, stroke pada hemisfer kiri ). Juga faktor sosial dan spiritual dapat menimbulkan depresi pada penderita.
Penilaian adanya depresi pada penderita dengan penyakit yang sudah lanjut tidak hanyaberdasarkan gejala somatiknya (nafsu makan/berat badan/libido yang menurun, cepat lelah serta gangguan tidur) tetapi juga gejala psikologik dan kognitifnya. Gejala depresi mayor yangmenonjol antara lain disforia yang persisten, anhedonia, rasa tidak berdaya dan putus asa, rasa tidak berharga dan hilangnya self-esteem, rasa bersalah yang berlebihan, kekecewaan yang mendalam, pikiran yang berulang tentang kematian serta fikiran bunuh diri. T anda lain seperti rasa nyeri yang tidak responsif terhadap pengobatan, perasaan sedih dengan afek yang datar serta kecemasan, iritabilitas dan mood yang tidak nyaman juga merupakan tanda yang signifikan. Penatalaksanaan depresi pada penderita terminal meli puti pendekatan non farmakologik seperti psikoterapi suportif, pendekatan kognitif, intervensi perilaku (terapi relaksasi, terapi distraksi) dan pendekatan komplementer/alternatif serta pemberian antidepresan dan psikostimulan. Mulailah dengan dosis rendah dan perlahan-lahan dosisdititrasi sesuai dengan kebutuhan.
Penderita dengan penyakit yang mengancam hidupnya sering mengalami kecemasan tentang hari depannya yang tidak pasti. Kondisi ini dapat dipicu oleh berbagai masalah fisik, psikologik, sosial, spi ritual dan masalah praktis lain atau merupakan bagian dari sindroma lain yang menyertai penyakitnya, dan ditandai dengan gejala -gejala agitasi, gelisah, berkeringat, tachikardia, hiperventilasi, insomnia, khawatir yang berlebihan dan ketegangan. Perlu dibedakan antara kecemasan yang primer dan depresi, delirium, gangguan bipolar atau efek samping obat.
Penatalaksanaan kecemasan meliputi pendekatan non -farmakologik (termasuk pendekatan komplementer/alternatif) dan farmakologik. Dalam pendekatan farmakologik , golongan benzodiazepin merupakan obat pilihan, namun perlu diperhatikan waktu paruhnya yang harusdisesuaikan dengan kebutuhannya. Benzodiazepin dengan waktu paruh panjang akan memberikan efek yang berkepanjangan dan risiko akumulasi sedangkan yang waktu paruhnya pendek ada risiko terjadinya withdrawal dan efek rebound. Pada lanjut usia, benzodiazepine dapat memperburuk fungsi kognitif atau menyebabkan kebingungan pada penderita yang sebelumnya sudah mengalami hendaya kognitif. Obat yang manapun yang dipi lih harus diberikan dengan prinsip start low – go slow, dan penghentiannya harus melalui periodetapering off secara perlahan-lahan. Antidepresan atipikal juga bermanfaat terutama padapenderita dengan gejala campuran cemas dan depresi, kecemasan khronik d an gangguan panik.