Daftar Blog Saya

Selasa, 23 April 2013

A. Konsep Dasar Penyakit 1. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik/PPOK (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002) PPOK merupakan kondisi irreversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru yang bersifat progresif. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002). Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002). 2. Penyebab/faktor Prediposisi PPOK disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus. Faktor resiko lainnya termasuk keadaan social-ekonomi dan status pekerjaaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat lokasi pertambangan, perokok pasif, atau terkena polusi udara dan konsumsi alkohol yang berlebihan. Obstruksi jalan nafas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam tergantung pada penyakit. • Pada bronchitis kronik dan bronkiolitis, penumpukan lender dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan nafas. • Pada emfisema, obstruktif pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara pada paru. • Pada asma, jalan nafas bronkial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir ke dalam paru-paru. 3. Patologi/Patofisiologi Terjadinya Penyakit Patofisiologi PPOK adalah sangat kompleks dan komprehensif sehingga mempengaruhi semua sistem tubuh yang artinya sama juga dengan mempengaruhi gaya hidup manusia. Dalam prosesnya, penyakit ini bisa menimbulkan kerusakan pada alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi pernafasan, kemudian mempengaruhi oksigenasi tubuh secara keseluruhan.  Patofisiologi Bronkitis Kronik Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.  Patofisiologi Emfisema Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius. Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan hiperekspansi kronik. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang. 4. Gejala Klinis Gejala-gejala awal dari PPOK, yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok, adalah batuk dan adanya lendir. Batuk-batuk dan produksi dahak khususnya menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.Sering terjadi nyeri kepala dan pilek. Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Selain itu, pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan, penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukup oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal. 5. Pemeriksaan Fisik Kondisi fisik yang bisa dijumpai pada pasien dengan PPOK, bisa meliputi dyspnea, warna kulit pucat, pernafasan mulut yang dangkal dan cepat, dan bernafas menggunakan otot bantu pernapasan/asesori. PPOK menyebabkan peningkatan diameter anterior-posterior dada sehingga dada tampak mengembung seperti tong (Barrel Chest). Karena mengalami kesulitan dalam menghirup udara, maka pasien memiliki fase ekspirasi yang diperpanjang (lebih dari empat detik). Pada PPOK yang ringan, mungkin tidak ditemukan kelainan selama pemeriksaan fisik, kecuali terdengarnya beberapa mengi pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop. Suara pernafasan pada stetoskop juga terdengar lebih keras. 6. Pemeriksaan Diagnostik Test faal paru : 1. Menggunakan spirometri 2. Menentukan penyebab dyspnea, obstruksi, derajat disfungsi 3. Pemeriksaan utama adalah FEV₁ dan rasio FEV₁/FVC 4. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru Obstruktif Kronik 5. Kapasitas inspirasi=↓ pd emfisema 6. Volume residu: ↑ emfisema, bronkitis kronis dan asma Darah : 1. Eo dan total IgE serum meningkat. 2. Hb ↑ 3. Analisa Gas Darah ® PaO₂ ↓, PaCO₂ ↑, asidosis respiratorik (emfisema & bronkitis), Alkalosis respiratorik (asma) 4. Pulse oksimetri ® SaO2 oksigenasi menurun. 5. Elektrolit menurun oleh karena pemakaian diuretika pada cor pulmonale. Radiologi : 1. Thorax foto (AP dan lateral) 2. Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru-paru. • EKG Deviasi aksis kanan, peninggian gel P (asma berat), disritmia atrial (bronkitis), peninggian gel P pd lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema) • Sputum Kultur utk menentukan adanya infeksi, identiikasi patogen 7. Therapy/Penatalaksanaan • Mobilisasi dahak. Ditujukan untuk mengurangi keluhan, batuk-batuk, ekspektorasi,sesak dengan cara memberikan obat-obat yang memudahkan pengeluaran sputum dan yang melebarkan saluran nafas. (a). Ekspektoransia. Pengenceran dan mobilisasi dahak merupakan tujuan pengobatan yang penting pada keadaan eksaserbasi dan juga pada keadaan-keadaan menahun dan stabil yang disertai jalan nafas yang berat. Hidrasi yang cukup merupakan yang paling efektif, penderita diharuskan untuk cukup banyak air. Cairan kadang-kadang perlu diberikan perenteral pada penderita dengan obstruksi jalan nafas yang berat disertai kesulitan mengeluarkan dahak. (b). Obat-obat mukolitik Dua jenis mukolitik yang paling banyak dipakai adalah Asetil cystein dan Bromhexin. Asetil cystein yang diberikan pada oral, memberikan efek mukolitik yang cukup banyak efek samping dibandingkan aerosol yang sering menimbulkan bronkospasme. Bromhexin sangat populer oleh karena penggunaannya yang mudah (tablet, elixir,sirup). (c) Nebulisasi. Inhalasi uap air atau dengan aerosol melalui nebuliser, dan juga ditambahkan dengan obat-obat bronkodilator dan mukolitik. • Obat-obat bronkodilator. Merupakan obat utama dalam mengatasi obstruksi jalan nafas. Adanya respon terhadap bronkodiLator yang dinilai dengan spirometri merupakan petunjuk yang dapat digunakan untuk pemakaian obat tersebut. • Antibiotika. Peranan infeksi sebagai faktor penyebab timbulnya PPOK terutama pada bronkitis menahun masih dalam perdebatan namun jelas infeksi berpengaruh terhadap perjalanan penyakit bronkitis menahun dan terutama pada keadaan-keadaan dengan eksaserbasi. Penyebab eksaserbasi tersering adalah virus, yang sering diikuti infeksi bakterial. Antibiotika yang efektif terhadap eksaserbasi infeksi ampicillin, tetracyclin, cotrimoxazole, erythromycin, diberikan 1 - 2 minggu. Perubahan dari sifat dahak merupakan petunjuk penting ada tidaknya infeksi, dahak menjadi hijau atau kuning. B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data Subyektif • Klien mengeluh sesak napas. • Klien mengatakan mengalami batuk berdahak. • Klien mengeluh pilek. • Klien mengatakan nafsu makan berkurang. • Klien mengeluh nyeri kepala. • Klien mengeluh sesak nafas bertambah selama dan setelah aktivitas. Data Obyektif • Wajah klien terlihat pucat. • Klien terlihat lemah. • Adanya tachipnea dan dyspnea. • Adanya sianosis. • Tampak produksi sputum yang berlebihan dan kental. • Frekuensi nadi meningkat (>100x/menit). • Terdengar suara ronchi. • Klien tampak meringis dan gelisah. • Penurunan berat badan. • Albumin serum menurun (< 3,5 mEq) • Pa O2 2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sputum ditandai dengan batuk berdahak, batuk tidak efektif, ronchi, RR meningkat (>20x/menit). 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler ditandai dengan dispnea, nilai AGD tak normal (Pa O2 <80mmhg data-blogger-escaped-span="">, retraksi dinding dada, sianosis sentral dan perifer (+), batuk produktif (+). 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan dalam memasukan, mencerna, dan mengabsorpsi makanan karena faktor biologi ditandai dengan nafsu makan menurun, penurunan berat badan, dan serum albumin < 3,5 mEq. 4. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh atau pertahanan primer tidak adekuat DAFTAR PUSTAKA 1. Brunner & Suddart. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta, EGC. 2. Doenges, Moorhouse, Geissler. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta. EGC. 3. Price, Sylvia. 2003 . Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC 4. Carpenito-Moyet, Lynda Juall.2006.Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC 5. NANDA, Panduan Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2005-2006. 6. Sarwono, W.2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Balai Penerbit FKUI 7. Anonim. 2007. Keperawatan PPOM. Available at : http://wandizone.blogspot.com/asuhan (akses: 21 Juli 2012) 8. Anonim-2. 2008. PPOM. Available at : http://red-lychee89.blog.friendster.com/penyakit-paru-menahun-obstruktif-ppom/ (akses: 21 Juli 2012)

Laporan Pendahuluan pada PAsien SOL

KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Definisi Tumor otak merupakan sebuah lesi yang terletak pada intracranial yang menempati ruang di dalam tengkorak.(Smeltzer, Suzane C. 2001). Tumor otak merupakan salah satu tumor susunan saraf pusat, baik ganas maupun tidak. Tumor ganas di susunan saraf pusat adalah semua proses neoplastik yang terdapat dalam ruang intrakranial atau dalam kanalis spinalis, yang mempunyai sebagian atau seluruh sifat-sifat proses ganas spesifik seperti yang berasal dari sel-sel saraf di meningen otak, termasuk juga tumor yang berasal dari sel penunjang (neuroglia), sel epitel pembuluh darah, dan selaput otak (Padmosantjojo, 2002) 2. Epidemiologi/Insiden kasus Insidensi tumor intrakranial berkisar antara 4,2-5,4 per 100.000 penduduk. Pada semua autopsi yang dilakukan oleh Bernat & Vincent (1987) dijumpai 2 % tumor otak. Pada anak di bawah 16 tahun tumor otak adalah 2,4 per 100.000 anak. Tampaknya insidensi tumor cenderung naik dengan bertambahnya umur. Tidak diketahui secara pasti perbedaan insidensi menurut ras, tempat tinggal maupun iklim (Harsono, 2008) Tumor otak masih menjadi permasalahan serius dari tipe kanker yang diderita oleh anak-anak. Tumor otak merupakan kanker kedua pada anak-anak setelah leukemia. Insiden terjadinya terjadinya kanker otak pada anak-anak 13,3 per 100 ribu populasi, serta angka kematian akibat kanker otak pada anak-anak 2,6 per 100 ribu populasi terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2001-2005. Sayangnya, angka insiden tumor otak di Indonesia belum banyak di temukan dalam literatur. 3. Penyebab/faktor prediposisi Penyebab dari tumor belum diketahui. Namun ada bukti kuat yang menunjukan bahwa beberapa agent bertanggung jawab untuk beberapa tipe tumor-tumor tertentu. Agent tersebut meliptu faktor herediter, kongenital, virus, toksin, dan defisiensi immunologi. Ada juga yang mengatakan bahwa tumor otak dapat terjadi akibat sekunder dari trauma cerebral dan penyakit peradangan.. Metastase ke otak dari tumor bagian tubuh lain juga dapat terjadi. Karsinoma metastase lebih sering menuju ke otak dari pada sarkoma. Lokasi utama dari tumor otak metastase berasal dari paru-paru dan payudara.Meningioma sedikit lebih banyak pada wanita. Neurofibroma, neurilema dan glioma sering berhubungan dengan neurofibromatosis. Sementara itu neurofibromatosis tergolong pada kelainan perkembangan dari neuroektoderm dan mesoderm yang disebut fakomatosa. Contoh fakomatosa lain misalnya tuberosklerosis yang selalu disertai peningkatan insiden tumor otak. Radiasi merupakan satu faktor untuk timbulnya tumor otak. Trauma, infeksi dan toksin belum dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya tumor otak. Tetapi bahan industry tertentu seperti nitrosourea adalah karsinogen yang poten, setidak-tidaknya pada kelinci percobaan. Limfoma lebih sering terdapat pada mereka yang mendapat imunosupresan seperti pada transplatasi ginjal, sumsum tulang dan pada AIDS (Harsono, 2008). 4. Patofisiologi Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis dengan gejala-gejala terjadi berurutan. Hal ini menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan klien. Gejala-gejalanya sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi/invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Tumor intracranial primer atau neoplasma adalah suatu peningkatan sel-sel intrinsik dari jaringan otak dan kelenjar pituitari dan pineal. Tumor sekunder/metastase merupakan penyebab tumor intracranial, kebanyakan merupakan metastase dari tumor paru-paru dan payudara. Prognosis untuk pasien dengan tumor intra cranial tergantung pada diagnosa awal dan penanganannya, sebab pertumbuhan tumor akan menekan pada pusat vital dan menyebabkan kerusakan serta kematian otak. Meskipun setengah dari seluruh tumor adalah jinak, dapat juga menyebabkan kematian bila menekan pusat vital. Gejala-gejala dari tumor intra cranial akibat efek lokal dam umum dari tumor. Efek lokal berupa infiltrasi, invasi dan pengrusakan jaringan otak pada bagian tertentu. Ada juga yang langsung menekan pada struktur saraf, menyebabkan degenerasi dan gangguan sirkulasi lokal. Edema dapat berkembang dan terjadi peningkatan takanan intracranial (TIK). Peningkatan TIK akan dipindahkan melalui otak dan sistem ventrikel. Dapat juga terjadi sistem ventrikel ditekan dan diganti sehingga menyebabkan obstruksi sebagian vebtrikel. Papilledema akibat dari efek umum dari peningkatan TIK, kematian biasanya akibat dari kompressi otak tengah akibat herniasi. 5. Klasifikasi 1. Tumor yang berasal dari jaringan otak (intramedular) : • Gliomas • Astrositoma • Glioblastoma • Ependimoma • Medulloblastoma • Oligodendroglioma • Kista Koloid • Hemangioblastoma 2. Tumor yang muncul dari pembungkus otak (ekstramedular): • Cleufibroma • Meningioma Terbungkus dalam kapsul , dapat dipastikan dengan baik, pertumbuhan keluar jaringan otak, menekan daripada menginvasi otak. 3. Tumor yang berkembang di dalam atau pada saraf kranial: • Neuroma akustik Diturunkan dari lapisan pembungkus saraf akustik saraf optik spongioblastoma polar. 4. Lesi Metastatik (tumor ekstradural): Merupakan metastase dari lesi primer, biasanya pada payudara, prostal, tiroid, paru–paru, ginjal dan lambung. 5. Tumor Kelenjar Tanpa Duktus • Hipofisis • Pinealis 6. Tumor Pembuluh darah • Hemangioblastoma • Angioma 7. Tumor-tumor konginetal a) Glioma Kriteria: 1. Banyak terjadi pada neoplasma otak 2. Tumor menyebar dengan infiltrasi ke dalam sekitar jaringan saraf dan hal ini tidak di pertimbangkan untuk melakukan reseksi tanpa menyebabkan kerusakan sekali pada struktur vital b) Adeno Hipofisis Kriteria: 1. Menyebabkan gejala-gejala akibat tekanan pada struktur sekitar atau terjadi perubahan hormon. 2. Pengaruh tekanan menyebabkan sakit kepala, gangguan fungsi penglihatan,gangguan hipotalamus( gangguan tidur, nafsu makan, suhu, dan emosi) 3. Peningkatan TIK 4. Pembesaran serta erosi sella tursika 5. Akromegali 6. Syndrom chusing c) Angioma Kriteria: 1. Pembesaran pembuluh darah abnormal yang didapat di dalam atau di luar daerah otak. 2. Beberapa angioma tanpa menyebabkan gejala 3. Terdengar suara bruit sampai di tengkorak. 4. Beresiko terhadap cedera vaskuler serebral(stroke) d) Neuro Akustik Kriteria: 1. Tumor pada saraf kranial kedelapan, saraf untuk pendengaran dan keseimbangan. 2. Tumbuh lambat dan dapat menjadi besar. 3. Pasien mengalami kehilangan pendengaran, tinnitus dan episode vertigo dan gaya berjalan sempoyongan. 6. Gejala klinis Tumor otak merupakan penyakit yang sukar terdiagnosa secara dini, karena pada awalnya menunjukkan berbagai gejala yang menyesatkan dan meragukan tapi umumnya berjalan progresif. a. Gejala serebral umum Dapat berupa perubahan mental yang ringan (Psikomotor asthenia), yang dapat dirasakan oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah tersinggung, emosi, labil, pelupa, perlambatan aktivitas mental dan sosial, kehilangan inisiatif dan spontanitas, mungkin diketemukan ansietas dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat dijumpai pada 2/3 kasus • Nyeri Kepala Diperkirakan 1% penyebab nyeri kepala adalah tumor otak dan 30% gejala awal tumor otak adalah nyeri kepala. Sedangkan gejala lanjut diketemukan 70% kasus. Sifat nyeri kepala bervariasi dari ringan dan episodik sampai berat dan berdenyut, umumnya bertambah berat pada malam hari dan pada saat bangun tidur pagi serta pada keadaan dimana terjadi peninggian tekanan tinggi intrakranial. Adanya nyeri kepala dengan psikomotor asthenia perlu dicurigai tumor otak. • Muntah Terdapat pada 30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala. Lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior, umumnya muntah bersifat proyektif dan tak disertai dengan mual. Muntah , kadang-kadang di pengaruhi oleh asupan makanan, yang selalu disebabkan adanya iritasi pada pusat vagal di medula. Jika muntah dengan tipe yang kuat, ini disebut sebagai muntah proyekti Papiledema ( Edema pada saraf optik) Ada sekitar 70% sampai 75 % dari pasien dan dihubungkan dengan gangguan penglihatan seperti penurunan ketajaman penglihatan, diplopia ( pandangan ganda) dan penurunan lapang pandangan • Kejang Bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25% kasus, dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak. b. Menyebabkan peningkatan tekanan TIK Berupa keluhan nyeri kepala di daerah frontal dan oksipital yang timbul pada pagi hari dan malam hari, muntah proyektil dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan diketemukan papil udem. Keadaan ini perlu tindakan segera karena setiap saat dapat timbul ancaman herniasi. Selain itu dapat dijumpai parese N.VI akibat teregangnya N.VI oleh TTIK. Tumor-tumor yang sering memberikan gejala TTIK tanpa gejala-gejala fokal maupun lateralisasi adalah meduloblatoma, spendimoma dari ventrikel III, haemangioblastoma serebelum dan craniopharingioma c. Gejala terlokalisasi: • Lobus frontal  Menimbulkan gejala perubahan kepribadian  Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra lateral, kejang fokal  Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia  Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster kennedy  Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia • Lobus parietal  Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsihomonym  Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus angularis menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s • Lobus temporal  Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang didahului dengan aura atau halusinasi  Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia dan hemiparese  Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala choreoathetosis, parkinsonism. • Lobus oksipital  Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan  Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang menjadi hemianopsia, objeckagnosia • Tumor di ventrikel ke III  Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala menimbulkan obstruksi dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian tekanan intrakranial mendadak, pasen tiba-tiba nyeri kepala, penglihatan kabur, dan penurunan kesadaran • Tumor di cerebello pontin angie  Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma  Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa gangguan fungsi pendengaran  Gejala lain timbul bila tumor telah membesar dan keluar dari daerah pontin angel • Tumor Hipotalamus  Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe  Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan perkembangan seksuil pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan • Tumor di cerebellum  Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat terjadi disertai dengan papil udem  Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme dari otot-otot servikal • Tumor fosa posterior  Diketemukan gangguan berjalan, nyeri kepala dan muntah disertai dengan nystacmus, biasanya merupakan gejala awal dari medulloblastoma Secara umum, manifestasi klinik dari tumor otak diantaranya: • Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF) o Sakit kepala o Nausea atau muntah proyektil o Pusing o Perubahan mental o Kejang • Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) o Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema. o Perubahan bicara, misalnya: aphasia o Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik. o Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis. o Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan konstipasi. o Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness. o Perubahan dalam seksual 7. Pemerikasaan fisik Kepala: • Inspeksi: bentuk kepala, besar kepala • Palpasi: massa pada kepala Neurologis • Inspeksi : kejang, tinglah laku aneh, disorientasi, afasia, penurunan/ kehilangan memori, afek tidak sesuai Penglihatan • Inspeksi : penurunan ketajaman penglihatan, penurunan lapang pandang Mata • Inspeksi bentuk, ukuran dan refleks pupil terhadap cahaya • Inspeksi tatapan kedua mata konjugasi atau diskonjugasi Pendengaran • Inspeksi : tinitus, penurunan pendengaran, halusinasi Cardivaskuler • Bradikardi • Hipertensi Respirasi • Inspeksi : Takipnea, dispnea, potensial obstruksi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler ( hilangnya kontrol terhadap otot pernafasan). Abdomen: • Inpeksi: distensi abdomen • Auskultasi: bising usus • Palpasi: nyeri tekan pada perut 8. Pemerikasaan diagnostic/penunjang 1. Pencitraan CT : Memberikan informasi spesifik yang menyangkut jumlah, ukuran, dan kepadatan jejas tumor dan meluasnya edema serebral sekunder, dan memberi informasi tentang system ventrikuler. 2. MRI membantu dalam mendiagnosis tumor otak, mendeteksi jejas yang kecil, alat ini juga umumnya untuk membantu dalam mendeteksi tumor-tumor di dalam batang otak dan daerah hipofisis, dimana tulang mengganggu gambaran yang menggunakan CT. 3. Biopsi stereotaktik bantuan computer 3 dimensi dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan dasar-dasar pengobatan dan prognosis. 4. Angiografi serebral memberikan gambaran pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral. 5. Elektroensefalogram( EEG) dapat mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang. 6. Penelitian sitologis pada cairan serebrospinal ( CSF) dapat dilakukan untuk mendeteksi sel-sel ganas, karena tumor-tumor pada system saraf pusat mampu menggusur sel-sel ke dalam cairan serebrospinal. 9. Terapi/tindakan penanganan Tujuan: Mengangkat dan memusnahkan semua tumor atau banyak kemungkinan tanpa meningkatnya penurunan neurologik ( paralis, kebutaan) atau tercapainya gejala-gejala dengan mengankat sebagian ( dekompresi) 1. Pendekatan Pengobatan: Pengaturan kelainan kejang melalui pengaturan nutrisi 2. Pembedahan 3. Stereotaktik 4. Penggunaan pisau gamma 5. Kemoterapi 6. Terapi sinar radiasi eksternal 7. Transplantasi sum-sum tulang autolog intravena 8. Kortikosteroid Metode umum untuk penatalaksanaan tumor otak meliputi : •Pembedahan Pembedahan intracranial biasanya dilakukan untuk seluruh tipe kondisi patologi dari otak untuk mengurangi ICP dan mengangkat tumor. Pembedahan ini dilakukan melalui pembukaan tengkorak, yang disebut dengan Craniotomy. Perawatan pre operasi pada pasien yang dilakukan pembedahan intra cranial adalah: a) Mengkaji keadaan neurologi dan psikologi pasien b) Memberi dukungan pasien dan keluarga untuk mengurangi perasaan-perasaan takut yang dialami. c) Memberitahu prosedur tindakan yang akan dilakukan untuk meyakinkan pasien dan mengurangi perasaan takut. d) Menyiapkan lokasi pembedahan, yaitu: kepala dengan menggunakan shampo antiseptik dan mencukur daerah kepala. e) Menyiapkan keluarga untuk penampilan pasien yang dilakukan pembedahan, meliputi :  Balutan kepala  Edema dan ecchymosis yang biasanya terjadi dimuka  Menurunnya status mental sementara Perawatan post operasi, meliputi : a) Mengkaji status neurologi dan tanda-tanda vital setiap 30 menit untuk 4 – 6 jam pertama setelah pembedahan dan kemudian setiap jam. Jika kondisi stabil pada 24 jam frekuensi pemeriksaan dapat diturunkan setiap 2 samapai 4 jam sekali. b) Monitor adanya cardiac arrhytmia pada pembedahan fossa posterior akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit c) Monitor intake dan output cairan pasien. Batasi intake cairan sekitar 1.500 cc / hari. d) Lakukan latihan ROM untuk semua ekstremitas setiap pergantian dinas. e) Pasien dapat dibantu untuk alih posisi, batuk dan napas dalam setiap 2 jam. f) Posisi kepala dapat ditinggikan 30 -35 derajat untuk meningkatkan aliran balik dari kepala. Hindari fleksi posisi panggul dan leher. g) Cek sesering mungkin balutan kepala dan drainage cairan yang keluar. h) Lakukan pemeriksaan laboratorium secara rutin, seperti : pemeriksaan darah lengkap, serum elektroit dan osmolaritas, PT, PTT, analisa gas darah. i) Memberikan obat-obatan sebagaimana program, misalnya : antikonvulsi,antasida, atau antihistamin reseptor, kortikosteroid. j) Melakukan tindakan pencegahan terhadap komplikasi post operasi. •Radioterapi •Chemoterapi Pemilihan terapi ditentukan dengan tipe dan letak dari tumor. Suatu kombinasi metode sering dilakukan. 10. Komplikasi Komplikasi post operasi 1. Edema cerebral 2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral 3. Hypovolemik syok 4. Hydrocephalus 5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus) 6. Infeksi luka operasi. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data Subyektif 1. Pemahaman pasien tentang penyakitnya 2. Perubahan dalam individu atau pertimbangan 3. Adanya ketidakmampuan sensasi ( parathesia atau anasthesia) 4. Masalah penglihatan (hilangnya ketajaman atau diplopia) 5. Mengeluh bau yang tidak biasanya (sering tumor otak pada lobus temporale) 6. Adanya sakit kepala 7. Ketidakmampaun dalam aktifitas sehari-hari. Data Obyektif 1. Kekuatan pergerakan 2. Berjalan 3. Tingkat kewaspadaan dan kesadaran 4. Orientasi 5. Pupil : ukuran, kesamaan, dan reaksi 6. Tanda-tanda vital 7. Pemeriksaan funduscopy untuk mengetahui papilaedema 8. Adanya kejang 9. Ketidaknormalan berbicara 10. Ketidaknormalan saraf-saraf kranial 11. Gejala-gejala peningkatan tekanan intracranial 2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul 1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan hipoksia jaringan 2. Nyeri kronis berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial 3. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan lapang pandang dan ketajaman penglihatan, kejang, dan gangguan kesadaran 4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neurologis 5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah 6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan bicara tertanggu, berdesis, afasia 7. Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan tindakan operasi 3. Rencana keperawatan 1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan hipoksia jaringan Tujuan:  Klien menunjukkan tingkat perbaikan kesadaran, kognisi, dan motorik sendiri  Klien memperlihatkan kestabilan tanda-tanda vital dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK Intervensi:  Pantau neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar Rasional: Mengkaji adanya tingakat kecendrungan pada tingat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP  Pantau tekanan darah Rasional: peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastolic merupakan tanda terjadinya peningakatan TIK  Catat ada/tidaknya reflek-refleks tertentu seperti reflex menelan, batuk babinski, dll) Rasional: Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingakt otak tengah atau batang otak  Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/netral, sokong dengan gulungan handuk kecil/bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar Rasional: Kepala yang miring pada salah satu sisi akan menekan vena jugularis dan mangehambat aliran darah vena, yang selanjtnya akan meningkatkan TIK 2. Nyeri kronis berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial Tujuan:  Klien/keluarga mengatakan nyeri hilang  Klien menunjukkan keadaan rileks/tenang dan mampu beristirahat/todur dengan tepat Intervensi:  Teliti keluhan nyeri: intensitas, karakteristik, lokasi, lamanya, faktor yang memperburuk dan meredakan. Rasional : Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.  Berikan lingkungan yang tenang, agak gelap sesuai dengan indikasi Rasional: menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar dan meningkatakan istirahat  Tingkatkan tirah baring Rasional: menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri  Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal seperti ekspresi wajah, gelisah, menangis/meringis, perubahan tanda vital. Rasional : Merupakan indikator/derajat nyeri yang tidak langsung yang dialami.  Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, seperti kepala agak tinggi sedikit Rasional: menurunkan iritasi menigeal, resultan ketidaknyamanan lebih lanjut 3. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan lapang pandang dan ketajaman penglihatan, kejang, dan penurunan kesadaran Tujuan:  Klien tidak mengalami cedera  Klien terbebas dari rasa takut akan cedera Intervensi:  Orientasikan klien baru terhadap lingkungan sekitar Rasional: pengenalan terhadap lingkungan meminimalkan risiko cedera  Awasi klien secara ketat selama beberapa malam pertama Rasional: untuk mengkaji keamanan  Pertahankan tempat tidur pada ketinggian paling rendah selama malam hari Rasional: menghindari kecelakaaan pada malam hari 4. Kerusakaan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neurologis Tujuan:  Klien mampu melakukan pergerakan/ mobilitas fisik dengan baik  Otot-otot klien dapat berkontraksi dengan baik Intervensi:  Lakukan ambulasi ROM secara rutin Rasional: Melatih pergerakan otot-otot klien  Ajarkan klien untuk beraktivitas secara bertahap Rasional: Memulihkan kemampuan klien untuk beraktivitas  Mengubah posisi klien setiap 2 jam Rasional: melatih pergerkan klien dan menghindari risiko dekubitus 5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah Tujuan:  Nafsu makan klien kembali normal  Klien tidak mengalami penurunan berat badan  Klien tidak mengalami mual, muntah Intervensi:  Ajarkan klien dan keluarga mengenai posisi nyaman saat makan Rasional: posisi yang nyaman membentu klien untuk menguarngi perasaan mual dan muntah  Beritahu waktu makan yang tepat (saat nyeri hilang, saat pasien tenang) Rasional: Perasaan yang tenang membantu meningkatkan nafsu makan  Anjurkan pada orang tua untuk mengistirahatkan anak sebelum makan Rasional: Memulihakan kemampuan lambung dan menghindarkan reflex muntah  Pertahankan kondisi mulut klien sebelum dan sesudah makan Rasional: Oral hygiene yang buruk dan memepegaruhi nafsu makan  Anjurkan klien untuk mengonsumsi makanan kering (biscuit, crakers) Rasional: Makanan kering dapar mengurangi rasa mual yang dirasakan  Anjurkan pada orang tua untuk menyediakan makanan kesukaan klien Rasional: Makanan kesukaaan dapat merangsang nafsu makan klien 6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan bicara tertanggu, berdesis, dan afasia Tujuan:  Klien mampu mengikuti aba-aba verbal  Klien berespon jika diajak berkomunikasi Intervensi:  Anjurkan kepada keluarga klien/ ajak klien berkomunikasi dengan mengggunakan kata-kata yang sederhana, dan dengan suara yang keras dan lambat Rasional: mempermudah klien untuk mengerti dengan komunikasi yang dimaksud  Ajarkan pada klien untuk berkomunikasi atau berespon dengan menggunakan bahasa tubuh Rasional: Membiasakan klien untuk berespon terhadap komunikasi  Pertahankan komunikasi dengan klien Rasional: agar klien terbiasa diajak berkomunikasi 7. Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan tindakan operasi Tujuan:  Klien dan keluarga paham tentang penyakitnya  Klien dan keluarga tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya dan mengikuti prosedur pengobatan Intervensi Intervensi :  Berikan penjelasan mengenai penyakit pengobatan secara jelas kepada klien dan keluarga Rasional: pemahaman tentang penyakit dan pengobtan dapat membantu mengontrol perasaan klien dan keluarga  Datangkan keluarga, rohaniawan dan tenaga kesehatan professional Rasional: memberikan dukungan terhadap klien dan keluarga  Dampingi klien dan keluarga untuk membicarakan dan mengkomunikasikan rasa takut dan kekhawatiran mereka Rasional: Komunikasi terbuka dan menerima rasa takut klien dan keluarga merupakan terapi yang ampuh buntuk mengurangi kecemasan mereka 8. Evaluasi Hal-hal yang perlu dievaluasi • Skala nyeri yang dirasakan klien • Perbaikan perfusi jaringan cerebral  Peningkatan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang  Dapat mengikuti aba-aba secara verbal, menjawab pertanyaan dengan benar • Kemampuan eliminasi dan defekasi • Kemampuan mobilitas fisik klien • Proses berpikir klien DAFTAR PUSTAKA 1. Doenges, E Marylin. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC 2. Engram, Barbara (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC 3. Reeves C, J. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika 4. Suddart, Brunner (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC 5. Ganong, WF. (1996). Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC