See the stone set in your eyes
See the thorn twist in your side
I wait for you
Sleight of hand and twist of fate
On a bed of nails she makes me wait
And I wait without you
With or without you
With or without you
Through the storm, we reach the shore
You gave it all but I want more
And I'm waiting for you
With or without you
With or without you
I can't live with or without you
And you give yourself away
And you give yourself away
And you give and you give
And you give yourself away
My hands are tied, my body bruised
She got me with nothing to win
And nothing else to lose
And you give yourself away
And you give yourself away
And you give and you give
And you give yourself away
With or without you
With or without you
I can't live
With or without you
With or without you
With or without you
I can't live
With or without you
With or without you
Blog ini berisi berbagai macam hal... Dari tugas-tugas kuliah sampai hiburan berupa lirik lagu... Semoga apa yang saya tulis ini bisa bermanfaat buat yang membacanya... Keep Figthing n Keep Smile ^_^
Daftar Blog Saya
Senin, 14 November 2011
KONSEP KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA THORAX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rongga toraks merupakan suatu rongga yang diisi oleh berbagai organ tubuh yang sangat vital, diantarannya : jantung, paru, pembuluh darah besar.
Rongga toraks dibentuk oleh suatu kerangka dada berbentuk cungkup yang tersusun dari tulang otot yang kokoh dan kuat, namun dengan konstruksi yang lentur dan dengan dasar suatu lembar jaringan ikat yang sangat kuat yang disebut Diaphragma. Konstruksi kerangka dada tersebut diatas sangat menunjang fleksibelitas fungsinya, diantaranya : fungsi perlindungan terhadap trauma dan fungsi pernafasan.
Hanya trauma tajam dan trauma tumpul dengan kekuatan yang cukup besar saja yang mampu menimbulkan cedera pada alat / organ dalam yang vital tersebut diatas.
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.
Dengan semakin meningkatnya teknologi dan industri di negara kita terutama kendaraan bermotor, maka akan meningkat pula angka kejadian dari trauma toraks. Di Amerika Serikat, penderita trauma secara keseluruhan mendekati 70 juta jiwa setiap tahunnya dengan menghabiskan dana kira-kira 100 milyar dolar setahun, dan 1 dari 100 kematian oleh trauma disebabkan oleh truma toraks.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian trauma thorak?
2. Apa saja jenis-jenis trauma thorak?
3. Bagaimana pemeriksaan primary survey?
4. Bagaimana pemeriksaan secondary survey?
5. Bagaimana penatalaksanaan trauma thorak?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian trauma thorak
2. Untuk mengetahui jenis-jenis trauma thorak
3. Untuk mengetahui pemeriksaan primary survey
4. Untuk mengetahui pemeriksaan secondary survey
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma thorak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Trauma Thorak
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraxyang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dandapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax. Dapat juga disebabkanoleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.
Kerangka rongga thorax,meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternum.Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonaryventilation/perfusion mismatch dan perubahan dalam tekanan intratthorax. Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosismetabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok)
B. Jenis-Jenis Trauma Thorak
Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.
1. Trauma tembus (tajam)
• Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma
• Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
• Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi
2. Trauma tumpul
• Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
• Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
• Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
• Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi
Berdasarkan mekanismenya terdiri dari :
1. Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.
2. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau porosnya.
4. Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.
C. Pemeriksaan Primary Survey
Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
1. Open Pneumothorax
Dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa, sehingga ada hubungan udara luar dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada yang mengisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang ini lebih besar daripada 1/3 diameter trachea, maka pada inspirasi, udara lebih mudah melewati lubang pada dinding dada dibandingkan melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat. Dengan demikian maka pada oper pneumothorax, usaha pertama adalah menutup lubang pada dinding dada ini, sehingga open pneumothorax menjadi close pneumothorax (tertutup). Harus segera ditambahkan bahwa Apabila selain lubang pada dinding dada, juga ada lubang pada paru, maka usaha menutup lubang ini dapat mengakibatkan terjadinya tension pneumothorax. Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah:
• Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plester pada 3 sisinya, sedangkan pada sisi yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus dilapisi zalf/sofratulle pada sisi dalamnya supaya kedap udara)
• Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka harus sering dilakukan evaluasi paru. Apabila ternyata timbul tanda tension pneumothorax, maka kasa harus dibuka pada luka yang sangat besar, maka dapat dipakai palastik infuse yang digunting sesuai ukuran.
2. Tension Pneumothorax
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna.
Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
3. Hematothorax massif
Hematothorax massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus di sadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
4. Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia.
Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi.
Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
5. Temponade Jantung
Tamponade jantung adalah kompresi jantung disebabkan oleh darah atau cairan yang terakumulasi di ruang antara miokardium (otot jantung) dan pericardium (lapisan luar jantung). Ini merupakan keadaan darurat medis,dengan meningkatnya produksi cairan sehingga akan menekan jantung lebihkuat dan proses pengisian tidak normal. Jika tidak diobati, ventrikel akan terganggu, mengakibatkan shock dan kematian.
Etiologinya bermacam-macam yang paling sering adalah maligna, perikarditis, uremia dan trauma, perdarahan ke dalam ruang pericardial akibattrauma, operasi, atau infeksi, pemasangan pacu jantung, tuberculosis, dan penggunaan antikoagulan.
Patofisiologi Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi pericardium menyebabkan hambatan serius aliran darah ke jantung ( gangguandiastolik ventrikel ). Penyebab tersering adalah neoplasma, dan uremi. Neoplasma menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel secara abnormal pada otot jantung. Sehingga terjadi hiperplasia sel yang tidak terkontrol, yang menyebabakan pembentukan massa (tumor). Hal ini yang dapatmengakibatnya ruang pada kantong jantung (perikardium) terdesak sehingga terjadi pergesekan antara kantong jantung (perikardium) dengan lapisan paling luar jantung (epikardium). Pergesekan ini dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada perikarditis sehingga terjadi penumpukan cairan pada pericardium yang dapat menyebakan tamponade jantung. Uremia juga dapat menyebabkan tamponade jantung. Dimana orang yang mengalami uremia, didalam darahnya terdapat toksik metabolik yang dapat menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi terjadi pada perikardium). Manifestasi klinis dari tamponade jantung adalah takikardi, peningkatan volume intravascular, peningkatan tekanan vena jugularis.
D. Pemeriksaan Secondary Survey
Pemeriksaan secondary survey merupakan suatau kegiatan mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe) biasanya dilakukan setelah pemeriksaan primer (primary survey) dan setelah memulai resusitasi.
Pemeriksaan sekunder dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin tidak diidentifikasi sebagai masalah yang mengancam jiwa (masalah-masalah yang tidak mengharuskan untuk dilakukan perawatan atau penanganan segera agar korban selamat, tetapi mungkin mengancam jiwa jika tidak ditangani) dan juga untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut.
1. Fraktur Iga
Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap organ didalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru.
Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulangrawan yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulangcosta. Fraktur costa akan menimbulkan rasa nyeri, yang mengganggu prosesrespirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai. Diperlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini.
Pada anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur. Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut..Dari keduabelas pasang costa yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat labil.
Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok :
a. Disebabkan trauma
1) Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain : Kecelakaan lalulintas,kecelakaan pada pejalan kaki ,jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
2) Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa luka tusuk dan luka tembak
b. Disebabkan bukan trauma
Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur, seperti pada gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf. Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping ataupun dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma costa, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa pada dinding dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa. Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya hematotoraks, pneumotoraks ataupun laserasi jantung.
2. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
3. Ruptur Aorta
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi ruptura tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum. Hanya kira-kira 15% dari penderita trauma toraks dengan ruptura aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila didapatkan :
a. mediastinum yang melebar
b. fraktur iga 1 dan 2
c. trakea terdorong ke kanan
d. gambaran aorta kabur
e. penekanan bronkus utama kiri
f. gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong ke kanan.
Ruptur aorta disebabkan kekuatan deselerasi yang besar ketika terjadi benturan dan kemudian kekuatan tersebut didistribusikan secara tidak merata di sepanjang aorta, mengingat pelekatan aorta pada struktur interna. Trauma akselerasi-deselerasi vertikal seperti jatuh dapat menyebabkan robeknya aorta asendens dengan tamponade perikardial akut.
Mekanisme yang menyebabkan ruptur adalah:
a. shear forces dalam hubungannyadengan segmen mobile arkus aorta dan aorta torakalis desendens (mis titik fiksasi padaligamentum arteriosum);
b. kompresi aorta dan pembuluh darah besar lainnya padakolumna vertebralis; dan
c. hiperekstensi intraluminal yang cukup besar selama momentubrukan.
4. Ruptur Diagfragma
Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya disertai trauma lain, trauma thorak dan abdomen, dibawah ini merupakan organ-organ yang paling sering terkena bersamaan dengan ruptur diafragma : (1) fraktur pelvis 40%, (2) ruptur lien 25%,, (3) ruptur hepar 25%, (4) ruptur aorta pars thorakalis 5-10%.
Beberapa ahli membagi ruptur diafragma berdasarkan waktu mendiagnosisnya menjadi :
a. Early diagnosis
• Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hanpir 50% pasien ruptur diafragma tidak terdiagnosis dalam 24 jam pertama
• Gejala yang mencul biasanya adanya tanda gangguan pernapasan
• Pemeriksaan fisik yang menudukung : adanya suara bising usus di dinding thorak dan perkusi yang redup di dinding thorak yang terkena
b. Delayed diagnosis
• Bila tidak terdiagnosa dalam 4 jam pertama, biasanya diagnosa akan muncul beberapa bulan bahkan tahun kemudian
Sekitar 80-90% ruptur diafragma terjadi akibat kecelakaan sepeda motor. Mekanisme terjadinya ruptur berhubungan dengan perbedaan tekanan yang timbul antara rongga pleura dan rongga peritoneum. Trauma dari sisi lateral menyebabkan ruptur diafragma 3 kali lebih sering dibandingkan trauma dari sisi lainnya oleh karena langsung dapat menyebabkan robekan diafragma pada sisi ipsilateral. Trauma dari arah depan menyebabkan peningkatan tekan intra abdomen yang mendadak sehingga menyebabkan robekan radier yang panjang pada sisi posterolateral diafragma yang secara embriologis merupakan bagian terlemah.
75 % ruptur diafragma terjadi disisi kiri, dan pada beberapa kasus terjadi pada sisi kanan yang biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat dan biasanya menyebabkan gangguan hemodinamik, hal ini disebabkan oleh karena letak hepar disebelah kanan yang sekaligus menjadi suatu proteksi. Pada trauma kendaraan bermotor arah trauma menentukan lokasi injuri di kanada dan Amerika Serikat biasanya yang terkena adalah sisi kiri khususnya pada pasien yang menyetir mobil, sedangkan pada penumpang biasanya yang terkena sisi kanan.
Pada trauma tumpul biasanya menyebabkan robekan radier pada mediastinum dengan ukuran 5 – 15 cm, paling sering pada sisi posterolateral, sebaliknya trauma tembus menyebabkan robekan linear yang kecil dengan ukuran kurang dari 2 cm dan bertahun-tahun kemudian menimbulkan pelebaran robekan dan terjadi herniasi.
Berikut ini mekanisme terjadinya ruptur diafragma : (1) robekan dari membran yang mengalami tarikan (stretching ), (2) avulsi diafragma dari titik insersinya, (3) tekanan mendadak pada organ viscera yang diteruskan ke diafragma.
5. Perforasi Eosofagus
Ruptur esofagus (Boerhaave syndrome) atau perforasi esofagus adalah pecahnya dinding esofagus karena muntah-muntah. 90 % penyebab ruptur esofagus adalah iatrogenik, yang biasanya diakibatkan oleh instrumentasi medis seperti paraesophageal endoskopi atau pembedahan. Dan 10%nya disebabkan oleh muntah-muntah.
Ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan intraesophageal dan tekanan negatif intrathoracic. Penyebab lain dari ruptur esofagus meliputi trauma tajam, pil esofagitis, Barrett’s ulkus, infeksi ulkus pada pasien dengan AIDS, dan pelebaran striktur esofagus.
Sebagian besar kasus ruptur esofagus, terjadi pada bagian posterolateral kiri dan meluas sampai beberapa sentimeter ke arah distal esofagus. Keadaan ini dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan berakibat fatal pada ketiadaan terapi. Kadang-kadang gejala non spesifik dapat menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan dapat memberikan hasil yang buruk. Penyakit esofagus yang sudah ada sebelumnya bukan merupakan prasyarat untuk ruptur esofagus, tapi memberikan kontribusi pada peningkatan angka kematian ruptur esofagus tersebut.
Ruptur esofagus yang disebabkan oleh trauma akibat benda tajam masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Amerika Serikat dan dunia, meskipun berbagai pendidikan dan peraturan telah diberikan sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya kasus ini.
Penyebab ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam/tembus, antara lain:
a. kerusakan iatrogenic dari struktur esofagus atau trauma dari luar
b. peningkatan tekanan intraesofagus disertai muntah hebat
c. penyakit esofagus seperti esofagitis korosif, esophageal ulcer dan neoplasma.
Letak ruptur tergantung dari kasus ruptur esofagus. Ruptur esofagus biasanya terjadi di pharing atau esefagus bagian bawah tepat di dinding posterolateral di atas diafragma.
Gejala ruptur esofagus juga berupa nyeri dada yang hebat pada saat menelan atau bernapas. Udara yang masuk ke mediastinum dapat menuju ke leher dan dapat menyebabkan emfisema subkutaneus atau ke dalam rongga pleura dan dapat menyebabkan pneumothorak.
Ruptur esofagus juga bisa disebabkan oleh varises esofagus. Varises esofagus bisa menyebabkan hematemesis. Pada kasus ini hematemesis dapat berakibat fatal untuk penderita.
E. Penatalaksanaan Trauma Thorak
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
• Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
• Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
• Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
• Latihan napas dalam.
• Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
• Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
• Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
• Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
• Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
• Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
• Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
• Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
• Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
• Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila :
• Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
• Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
• Tidak ada pus dari selang WSD.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Trauma thorax dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa sehingga ada hubungan udara luar dan dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi kuncup, Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi/sucking chost woundl
Menghadapi pasien dengan trauma toraks, triase pertama adalah evaluasi terhadap fungsi kardio-pulmoner secara sangat cermat dan teliti. Bila telah dapat ditegakkan “Assesment” kardio pulmoner dan telah dilaksanakan tindakan penanggulangan kegawat daruratan medis utama, perlu dilakukan “Assesment” kerangka dan rongga toraks secara seksama.
Penguasaan ilmu dan teknik pemeriksaan fisik dada akan sangat menunjang kualitas hasil pertolongan yang diberikan.
KONSEP KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL
A. Penilaian Awal Trauma Muskuloskeletal
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Secondary survey
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.
1. Persiapan
Fase Pra-Rumah Sakit
a. Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
b. Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai diangkut dari tempat kejadian.
c. Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
Fase Rumah Sakit
a. Perencanaan sebelum penderita tiba
b. Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang mudah dijangkau
c. Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau
d. Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-waktu dibutuhkan.
e. Pemakaian alat-alat proteksi diri
2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase :
a. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
3. Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
• Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
• Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
• Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
• Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
• - Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
- Pasang airway definitif sesuai indikasi.
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
• Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi
• Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
• Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
• Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
• Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
• Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
• Ventilasi dengan Bag Valve Mask
• Menghilangkan tension pneumothorax
• Menutup open pneumothorax
• Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
b. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
1) Penilaian
• Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
• Mengetahui sumber perdarahan internal
• Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.
• Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
• Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
• Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
• Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah.
• Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
• Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
• Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
• Cegah hipotermia
3) Evaluasi
c. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
d. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
4. Resusitasi
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat ( lihat tabel 2 )
c. Evaluasi resusitasi cairan
• Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3, tabel 3 dan tabel 4 )
• Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
• Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan
• Respon Sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).
• Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya ( lihat tabel 6 )
B. Trauma Muskuloskeletal yang Mengancam Jiwa
1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan
a.Trauma
Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan fraktur sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek system, arteri iliakainterna (trauma komprresi anterior-posterior). Pada tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur pelvis yang tersering adalah tekanan yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung menyebabkan hemipelvis rotasi ke dalam, mengecilkan rongga pelvis dan mengurangi regangan system vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis mendesak ke arah sistem urogenital bawah,sehingga menyebabkan trauma uretra atau buli-buli.
b. Pemeriksaan
Diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan resusitasi. Tanda klinis yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau hematom yang progresif pada daerah panggul, skrotum dan perianal. Tanda-tanda trauma pelvicring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah pelvix (terutama daerah perineum, rectum atau bokong), high riding prostate (prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan didapatkannya instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan manipulasi manuual dari pelvis. Petunjuk awalnya adalah dengan ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai ( biasanya rotasi eksternal ) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Bila penderita sudah stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang pemeriksaan klinis.
c.Pengelolaan
Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan eksternal counter pressure. Teknik sederhana dapat dilakukan untuk stabilisasi pelvissebelum penderita dirujuk. Traksi kulit longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat ditambah denganmemasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG. Cara-cara sementara inidapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan tampon untuk menghentikan perdarahan.
2. Perdarahan Besar Arterial
a.Trauma
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma tumpul yangmenyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan di dalam jaringan lunak.
b. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya pulsasinadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma yangmembesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskuler.
c.Pengelolaan
Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic secara bijaksana mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular ditempat perdarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali pembuluh darahnya terletak disuperfisial dan tampak dengan jelas. Jika fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan diatasluka. Pemeriksaan arteriografi dan penunjang yang lain baru dikerjakan jika penderita telah teresusitasi dan hemodinamik normal.
3.Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatik )
a.Trauma
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi akibatcrush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia dan pelepasan mioglobin.
b. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan positif bila diperiksa untuk adanya hemoglobin. Rabdomiolisis dapat menyebabkan hipovodemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC (Disseminated intravascular coagulation).
c. Pengelolaan
Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk melindungi ginjal dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh mioglobin dapat dicegah dengan pemberian cairan dan diuresis osmotic untuk meningkatkan isis tubulus dan aliranurine. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine 100ml/jam sampai bebasdari mioglobin uria.
C. Trauma Yang Mengancam Muskuloskeletal
1.Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi
a.Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar.Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri menyebabkan patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi.
b.Pemeriksaan
Diagnosa didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik ekstermitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa kerusakaan luas otot serta kontaminasi.Jika terdapat luka terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini berhubungan dengan atau masuk kedalam sendi, dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan rongga sendi berhubungan dengan luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan luka terbuka padasendi adalah dengan eksplorasi bedah dan pembersihan luka.
c.Pengelolaan
Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan ada atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera dilakukan imobilisasi. Penderita segera diresusitasi secara adekuat dan hemodinamik sedapat mungkinstabil. Profilaksis tetanus segera diberikan.
2. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatik
a.Riwayat dan pemeriksaan
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus ekstremitas.Trauma vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pilsasi melemah dan ankle/brachial index abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan nadi tidak teraba.
b.Pengelolaan
Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga akan sangat sensitif terhadap keadaan tanpa oksigen.Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran darah padaekstermitas distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan memasang bidai. Iskemia menimbulkan nyeri hebat dan konsisten.Amputasi traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf dankerusakan otot mungkin memerlukan amputasi.Penderita dengan trauma multipel yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi gawatdarurat bukan kandidat untuk reimplantasi.Anggota yang teramputasi dicuci dengan larutan isotonic dan dibungkus kasasteril dan dibasahi lautan penisilin (100.000 unit dalam 50 ml RL ) dan dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini dimasukkan dalam termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama penderita.
3. Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi
a.Trauma
Fraktur atau/dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan persendian. Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan ditangani secara cepat.
b.Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan trauma musculoskeletal. Kelainan neurologis atau perubahan neurologis yang progresif harus dicatat. Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan deformitas dari musculoskeletal. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama penderita. Setiap saraf perifer yang besar diperiksa fungssi motorik dan sensorik perlu diperiksa secara sistematik.
c.Pengelolaan
Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di reavaluasi dan ekstremitas dipasang bidai.
4. Trauma Ekstremitas Yang Lain
a.Kontusio dan Laserasi
Secara umum laserasi memerlukan debridemen dan penutupan luka. Jika laserasimeluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk membersihkan luka danmemeriksa struktur-struktur di bawahnya yang rusak. Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Kontusio diobati dengan kistirahat dan pemakaian kompresdingin pada fase awal.
b. Trauma Sendi
Trauma sendi bukan dislokasi (sendi masih dalam konfigurasi anatomi normal tetapi terdapat trauma ligamen) biasanya tidak mengancam muskuloskeletal, walaupun dapat menurunkan fungsi musculoskeletal. Biasanya ditemukan adanya gaya abnormal terhadap sebagian contoh tekanan terhadap bagian anterior yang mendorong kebelakang,tekanan terhadap bagian lateral tungkai yang menimbulkan regangan valgus pada lutut atau dengan lengan ekstensi sehingga menimbulkan trauma hiperfleksi siku.
c. Fraktur
Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang menimbulkan gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Krepitasi dan gerakan abnormal ditempat fraktur kadang-kadang dilakukan untuk memastikn diagnosis,tetapi hal ini dapat menambah sangat nyeri kerusakan jaringan lunak. Pembengkakan,nyeri tekan dan deformitas biasanya cukup untuk membuat diagnosis fraktur. Mempertimbangkan status hemodinamik pasien, foto rontgen harus mencakup sendiatas dan bawah tulang yang fraktur,untuk menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.
D. Definisi Kompartement Syndrome
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada daerah tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal)
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi menjadi akut, subakut dan kronik.
E. Penyebab Kompartement Syndrome
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
• Penutupan defek fascia
• Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
• Balutan yang terlalu ketat
• Berbaring di atas lengan
• Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
• Pendarahan atau Trauma vaskuler
• Peningkatan permeabilitas kapiler
• Penggunaan otot yang berlebihan
• Luka bakar
• Operasi
• Gigitan ular
• Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.
G. Penatalaksanaan Kompartement Syndrome
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi
Penanganan kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot.
Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Secondary survey
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.
1. Persiapan
Fase Pra-Rumah Sakit
a. Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
b. Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai diangkut dari tempat kejadian.
c. Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
Fase Rumah Sakit
a. Perencanaan sebelum penderita tiba
b. Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang mudah dijangkau
c. Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau
d. Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-waktu dibutuhkan.
e. Pemakaian alat-alat proteksi diri
2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase :
a. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
3. Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
• Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
• Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
• Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
• Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
• - Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
- Pasang airway definitif sesuai indikasi.
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
• Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi
• Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
• Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
• Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
• Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
• Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
• Ventilasi dengan Bag Valve Mask
• Menghilangkan tension pneumothorax
• Menutup open pneumothorax
• Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
b. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
1) Penilaian
• Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
• Mengetahui sumber perdarahan internal
• Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.
• Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
• Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
• Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
• Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah.
• Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
• Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
• Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
• Cegah hipotermia
3) Evaluasi
c. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
d. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
4. Resusitasi
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat ( lihat tabel 2 )
c. Evaluasi resusitasi cairan
• Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3, tabel 3 dan tabel 4 )
• Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
• Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan
• Respon Sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).
• Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya ( lihat tabel 6 )
B. Trauma Muskuloskeletal yang Mengancam Jiwa
1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan
a.Trauma
Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan fraktur sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek system, arteri iliakainterna (trauma komprresi anterior-posterior). Pada tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur pelvis yang tersering adalah tekanan yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung menyebabkan hemipelvis rotasi ke dalam, mengecilkan rongga pelvis dan mengurangi regangan system vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis mendesak ke arah sistem urogenital bawah,sehingga menyebabkan trauma uretra atau buli-buli.
b. Pemeriksaan
Diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan resusitasi. Tanda klinis yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau hematom yang progresif pada daerah panggul, skrotum dan perianal. Tanda-tanda trauma pelvicring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah pelvix (terutama daerah perineum, rectum atau bokong), high riding prostate (prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan didapatkannya instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan manipulasi manuual dari pelvis. Petunjuk awalnya adalah dengan ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai ( biasanya rotasi eksternal ) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Bila penderita sudah stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang pemeriksaan klinis.
c.Pengelolaan
Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan eksternal counter pressure. Teknik sederhana dapat dilakukan untuk stabilisasi pelvissebelum penderita dirujuk. Traksi kulit longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat ditambah denganmemasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG. Cara-cara sementara inidapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan tampon untuk menghentikan perdarahan.
2. Perdarahan Besar Arterial
a.Trauma
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma tumpul yangmenyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan di dalam jaringan lunak.
b. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya pulsasinadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma yangmembesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskuler.
c.Pengelolaan
Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic secara bijaksana mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular ditempat perdarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali pembuluh darahnya terletak disuperfisial dan tampak dengan jelas. Jika fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan diatasluka. Pemeriksaan arteriografi dan penunjang yang lain baru dikerjakan jika penderita telah teresusitasi dan hemodinamik normal.
3.Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatik )
a.Trauma
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi akibatcrush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia dan pelepasan mioglobin.
b. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan positif bila diperiksa untuk adanya hemoglobin. Rabdomiolisis dapat menyebabkan hipovodemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC (Disseminated intravascular coagulation).
c. Pengelolaan
Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk melindungi ginjal dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh mioglobin dapat dicegah dengan pemberian cairan dan diuresis osmotic untuk meningkatkan isis tubulus dan aliranurine. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine 100ml/jam sampai bebasdari mioglobin uria.
C. Trauma Yang Mengancam Muskuloskeletal
1.Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi
a.Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar.Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri menyebabkan patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi.
b.Pemeriksaan
Diagnosa didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik ekstermitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa kerusakaan luas otot serta kontaminasi.Jika terdapat luka terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini berhubungan dengan atau masuk kedalam sendi, dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan rongga sendi berhubungan dengan luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan luka terbuka padasendi adalah dengan eksplorasi bedah dan pembersihan luka.
c.Pengelolaan
Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan ada atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera dilakukan imobilisasi. Penderita segera diresusitasi secara adekuat dan hemodinamik sedapat mungkinstabil. Profilaksis tetanus segera diberikan.
2. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatik
a.Riwayat dan pemeriksaan
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus ekstremitas.Trauma vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pilsasi melemah dan ankle/brachial index abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan nadi tidak teraba.
b.Pengelolaan
Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga akan sangat sensitif terhadap keadaan tanpa oksigen.Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran darah padaekstermitas distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan memasang bidai. Iskemia menimbulkan nyeri hebat dan konsisten.Amputasi traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf dankerusakan otot mungkin memerlukan amputasi.Penderita dengan trauma multipel yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi gawatdarurat bukan kandidat untuk reimplantasi.Anggota yang teramputasi dicuci dengan larutan isotonic dan dibungkus kasasteril dan dibasahi lautan penisilin (100.000 unit dalam 50 ml RL ) dan dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini dimasukkan dalam termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama penderita.
3. Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi
a.Trauma
Fraktur atau/dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan persendian. Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan ditangani secara cepat.
b.Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan trauma musculoskeletal. Kelainan neurologis atau perubahan neurologis yang progresif harus dicatat. Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan deformitas dari musculoskeletal. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama penderita. Setiap saraf perifer yang besar diperiksa fungssi motorik dan sensorik perlu diperiksa secara sistematik.
c.Pengelolaan
Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di reavaluasi dan ekstremitas dipasang bidai.
4. Trauma Ekstremitas Yang Lain
a.Kontusio dan Laserasi
Secara umum laserasi memerlukan debridemen dan penutupan luka. Jika laserasimeluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk membersihkan luka danmemeriksa struktur-struktur di bawahnya yang rusak. Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Kontusio diobati dengan kistirahat dan pemakaian kompresdingin pada fase awal.
b. Trauma Sendi
Trauma sendi bukan dislokasi (sendi masih dalam konfigurasi anatomi normal tetapi terdapat trauma ligamen) biasanya tidak mengancam muskuloskeletal, walaupun dapat menurunkan fungsi musculoskeletal. Biasanya ditemukan adanya gaya abnormal terhadap sebagian contoh tekanan terhadap bagian anterior yang mendorong kebelakang,tekanan terhadap bagian lateral tungkai yang menimbulkan regangan valgus pada lutut atau dengan lengan ekstensi sehingga menimbulkan trauma hiperfleksi siku.
c. Fraktur
Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang menimbulkan gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Krepitasi dan gerakan abnormal ditempat fraktur kadang-kadang dilakukan untuk memastikn diagnosis,tetapi hal ini dapat menambah sangat nyeri kerusakan jaringan lunak. Pembengkakan,nyeri tekan dan deformitas biasanya cukup untuk membuat diagnosis fraktur. Mempertimbangkan status hemodinamik pasien, foto rontgen harus mencakup sendiatas dan bawah tulang yang fraktur,untuk menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.
D. Definisi Kompartement Syndrome
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada daerah tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal)
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi menjadi akut, subakut dan kronik.
E. Penyebab Kompartement Syndrome
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
• Penutupan defek fascia
• Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
• Balutan yang terlalu ketat
• Berbaring di atas lengan
• Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
• Pendarahan atau Trauma vaskuler
• Peningkatan permeabilitas kapiler
• Penggunaan otot yang berlebihan
• Luka bakar
• Operasi
• Gigitan ular
• Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.
G. Penatalaksanaan Kompartement Syndrome
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi
Penanganan kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot.
Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
Konsep Kegawatdaruratan pada Korban Tenggelam
A. Kegawatdaruratan Korban Tenggelam
1. Definisi
Tenggelam ( Drawning ) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan.
Definisi baru menyatakan bahwa tenggelam merupakan proses yang dihasilkan dari kerusakan tractus respiratorius primer dari adanya penumpukkan dalam medium cair. Definisi implicit adalah bahwa adanya cairan yang timbul dalam jalan nafas korban. Hasilnya dapat termasuk menghambat morbiditas atau kematian.
Tenggelam dapat menyebabkan kematian atau kecacatan. Menurut Kongres Tenggelam Sedunia tahun 2002, tenggelam adalah suatu kejadian berupa gangguan respirasi akibat tenggelam atau terendam oleh cairan. Menurut Dr. Boedi Swidarmoko SpP, tenggelam (drowning) adalah kematian karena asfiksia pada penderita yang tenggelam. Istilah lain, near drowning adalah untuk penderita tenggelam yang selamat dari episode akut dan merupakan berisiko besar mengalami disfungsi organ berat dengan mortalitas tinggi. Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis.
Jadi yang di maksud dengan tenggelam adalah suatu istilah dari suatu keadaan yang disebabkan karena seseorang menghirup air atau cairan ke paru-paru sehingga menghambat/mencegah udara yang mengandung oksigen untuk sampai dan berhubungan dengan bagian depan permukaan alveolus di paru-paru,dimana bagian ini merupakan bagian penting yang berfunsi untuk pertukaran gas di paru-paru dan proses oksigenisasi darah.
2. Etiologi
a. Terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan
b. Ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan
c. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang
3. Manifestasi Klinik
a. Koma
b. Peningkatan edema paru
c. Kolaps sirkulasi
d. Hipoksemia
e. Asidosis
f. Timbulnya hiperkapnia
4. Kondisi Umum dan Faktor Resiko Pada Kejadian Korban Tenggelam
a. Pria lebih beresiko untuk mengalami kejadian tenggelam terutama dengan usia 18-24 tahun
b. Kurang pengawasan terhadap anak terutama yang berusia 5 tahun ke bawah
c. Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air
d. Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat dan air yang sangat dalam
e. Ditenggelamkan dengan paksa oleh orang lain dengan tujuan membunuh,kekerasan atau permainan di luar batas.
5. Komplikasi
a. Ensefalopati Hipoksik
b. Tenggelam sekunder
c. Pneumonia aspirasi
d. Fibrosis interstisial pulmoner
e. Disritmia ventricular
f. Gagal Ginjal
g. Nekrosis pancreas
h. Infeksi
6. Klasifikasi Tenggelam
a. Berdasarkan Kondisi Paru-Paru Korban
1) Typical Drawning
Yaitu keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat korban tenggelam.
2) Atypical Drawning
• Dry Drowning
Yaitu keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan.
• Immersion Syndrom
Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin ( suhu < 20°C ) yang menyebabkan terpicunya reflex vagal yang menyebabkan apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral.
• Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk ke air.
• Delayed Dead
Yaitu keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.
b. Berdasarkan Kondisi Kejadian
1) Tenggelam
Yaitu suatu keadaan dimana penderita akan meneguk air dalam jumlah yang banyak sehingga air masuk ke dalam saluran pernapasan dan saluran nafas atas tepatnya bagian apiglotis akan mengalami spasme yang mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup serta hanya dapat dilalui oleh udara yang sangat sedikit.
2) Hampir Tenggelam
Yaitu suatu keadaan dimana penderita masih bernafas dan membatukkan air keluar.
B. Penatalaksanaan Korban Tenggelam
Penanganan pada korban tenggelam dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
1. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus utama pada perbaikan jalan napas dan oksigenasi buatan, terutama pada korban yang mengalami penurunan kesadaran. Bantuan hidup dasar pada korban tenggelam dapat dilakukan pada saat korban masih berada di dalam air. Prinsip utama dari setiap penyelamatan adalah mengamankan diri penyelamat lalu korban, karena itu, sebisa mungkin penyelamat tidak perlu terjun ke dalam air untuk menyelamatkan korban. Namun, jika tidak bisa, penyelamat harus terjun dengan alat bantu apung, seperti ban penyelamat, untuk membawa korban ke daratan sambil melakukan penyelamatan. Cedera servikal biasanya jarang pada korban tenggelam, namun imobilisasi servikal perlu dipertimbangkan pada korban dengan luka yang berat.
2. Penilaian pernapasan dilakukan pada tahap ini, yang terdiri dari tiga langkah, yaitu:
Look, yaitu melihat adanya pergerakan dada
Listen, yaitu mendengarkan suara napas
Feel, yaitu merasakan ada tidaknya hembusan napas
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to mask, dan mouth to neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas bantuan untuk mengurangi hipoksemia. Pemberian napas buatan inisial yaitu sebanyak 5 kali. Melakukan pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban pada pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dilanjutkan hingga 10 – 15 kali selama sekitar 1 menit. Jika korban tidak sadar dan tenggelam selama <5 menit, pernapasan buatan dilanjutkan sambil menarik korban ke daratan. Namun, bila korban tenggelam lebih dari 5 menit, pemberian napas buatan dilanjutkan selama 1 menit, kemudian bawa korban langsung ke daratan tanpa diberikan napas buatan.
Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung akibat dari hipoksia. Pemberian kompresi ini dilakukan di atas tempat yang datar dan rata dengan rasio 30:2. Namun, pemberian kompresi intrinsik untuk mengeluarkan cairan tidak disarankan, karena tidak terbukti dapat mengeluarkan cairan dan dapat berisiko muntah dan aspirasi.
Selama proses pemberian napas, regurgitasi dapat terjadi, baik regurgitasi air dari paru maupun isi lambung. Hal ini normal terjadi, namun jangan sampai menghalangi tindakan ventilasi buatan. Korban dapat dimiringkan dan cairan regurgitasinya dikeluarkan.
3. Bantuan hidup lanjut
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau tabung oksigen.1 Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini, keadaan korban belum membaik, dapat dilakukan intubasi trakeal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kegawatdaruratan pada korban tenggelam terkait erat dengan masalah pernapasan dan kardiovaskuler yang penanganannya memerlukan penyokong kehidupan jantung dasar dengan menunjang respirasi dan sirkulasi korban dari luar melalui resusitasi, dan mencegah insufisiensi.
Korban dikatakan hampir tenggelam apabila korban dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama. Apabila tidak dilakukan penanganan segera maka sebagian besar pasien mengalami kerusakan organ yang multipel dimana otak merupakan organ yang sangat peka dalam hal ini.
Patofisiologi korban hampir tenggelam sangat tergantung kepada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Oleh sebab itu, tindakan di luar rumah sakit atau di tempat kejadian tenggelam menentukan hasil tindakan di rumah sakit dan prognosa selanjutnya.
Untuk pengelolaan, korban hampir tenggelam dikategorikan berdasarkan status neurologis. Kategori A dan B biasanya membutuhkan perawatan medis supportif sedangkan penderita yang termasuk dalam kategori C membutuhkan tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif. Juga harus dicari dan ditangani trauma yang timbul, seperti masalah kejang.
KONSEP KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN GIGITAN SERANGGA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. Selain kasus gigitan serangga dan binatang berbisa, kasus tenggelam juga banyak terjadi sehingga memerlukan tindakan pertolongan sesegara mungkin.
Diseluruh dunia, kasus tenggelam adalah kasus kematian terbanyak no. 2 dan no. 3 yang menimpa anak-anak dan remaja.Pada umumnya kasus tenggelam ini sering terjadi di Negara-negar yang beriklim panas dan Negara dunia ketiga.Insiden terjadinya kasus tenggelam pada anak-anak ini berbeda-beda tingkatan pada tiap-tiap Negara.Dibandingkan dengan Negara-negara berkembang yang lain reputasi Australia kurang baik, karena kasus tenggelam di Negara ini masuk dalam urutan terbanyak. Tenggelam merupakan salah satu kecelakaan yang dapat berujung pada kematian jika terlambat mendapat pertolongan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO), mencatat, tahun 2000 di seluruh dunia ada 400.000 kejadian tenggelam tidak sengaja. Artinya, angka ini menempati urutan kedua setelah kecelakaan lalu lintas. Bahkan Global Burden of Disease (GBD) menyatakan bahwa angka tersebut sebenarnya lebih kecil dibanding seluruh kematian akibat tenggelam yang disebabkan oleh banjir, kecelakaan angkutan air dan bencana lainnya. Ditaksir. selama tahun 2000, 10 persen kematian di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan, dan 8 persen akibat tenggelam tidak disengaja (unintentional) yang sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang.
Tenggelam merupakan penyebab yang signifikan dari kecacatan dan kematian. Tenggelam telah didefinisikan sebagai kematian kedua setelah asfiksia dimana terisi dengan cairan, biasanya air, atau dalam 24 jam of submersion. Pada Kongres Dunia Tenggelam tahun 2002, yang diadakan di Belanda, sekelompok ahli menyarankan consensus untuk mendefinisikan tenggelam agar menurunkan kebingungan dari penggunaan dan definisi (>20) merujuk kepada proses ini yang telah timbul dalam literature. Kelompok ini mempercayai bahwa keseragaman definisi akan membuat analisis lebih akurat dan perbandingan studi, dimana para peneliti bisa menggambarkan kesimpulan yang lebih bermakna dari data yang dikumpulkan, dan meningkatkan kemudahan surveillance serta aktivitas pencegahan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas, masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud kegawatdaruratan pada gigitan serangga dan binatang berbisa?
2. Apa saja penyebab gigitan serangga dan binatang berbisa?
3. Bagaimana penatalaksanaan gigitan serangga dan binatang berbisa?
4. Apa yang dimaksud kegawatdaruratan korban tenggelam?
5. Bagaimana penatalaksanaan korban tenggelam ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep kegawatdaruratan gigitan serangga dan binatang berbisa
2. Untuk mengetahui penyebab gigitan serangga dan binatang berbisa
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan gigitan serangga dan binatang berbisa
4. Untuk mengetahui konsep kegawatdaruratan korban tenggelam
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan korban tenggelam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kegawatdaruratan Pada Gigitan Serangga Dan Binatang Berbisa
1. Definisi gigitan serangga
Insect Bites adalah gigitan atau serangan serangga. Gigitan serangga seringkali menyebabkan bengkak, kemerahan, rasa sakit (senut-senut), dan gatal-gatal. Reaksi tersebut boleh dibilang biasa, bahkan gigitan serangga ada yang berakhir dalam beberapa jam sampai berhari-hari. Bayi dan anak-anak labih rentan terkena gigitan serangga dibanding orang dewasa.
Insect bites adalah gigitan yang diakibatkan karena serangga yang menyengat atau menggigit seseorang.
Beberapa contoh masalah serius yang diakibatkan oleh gigitan atau serangan gigitan serangga didantaranya adalah:
a. Reaksi alergi berat (anaphylaxis).
Reaksi ini tergolong tidak biasa, namun dapat mengancam kahidupan dan membutuhkan pertolongan darurat. Tanda-tanda atau gejalanya adalah:
• Terkejut (shock). Dimana ini bisa terjadi bila sistem peredaran darah tidak mendapatkan masukan darah yang cukup untuk organ-organ penting (vital)
• Batuk, desahan, sesak nafas, merasa sakit di dalam mulut atau kerongkongan/tenggorokan
• Bengkak di bibir, lidah, telinga, kelopak mata, telapak tangan, tapak kaki, dan selaput lendir (angioedema)
• Pusing dan kacau
• Mual, diare, dan nyeri pada perut
• Rasa gatal dengan bintik-bintik merah dan bengkak
Gejala tersebut dapat diikuti dengan gejala lain dari beberapa reaksi.
b. Reaksi racun oleh gigitan atau serangan tunggal dari serangga.
Serangga atau laba-laba yang menyebabkan hal tersebut misalnya:
• Laba-laba janda (widow) yang berwarna hitam
• Laba-laba pertapa (recluse) yang berwarna coklat
• Laba-laba gembel (hobo)
• Kalajengking
c. Reaksi racun dari serangan lebah, tawon, atau semut api.
• Seekor lebah dengan alat penyengatnya di belakang lalu mati setelah menyengat. Lebah madu afrika, yang dinamakan lebah-lebah pembunuh, mereka lebih agresif dari pada lebah madu kebanyakan dan sering menyerang bersama-sama dengan jumlah yang banyak
• Tawon, penyengat dan si jaket kuning (yellow jackets), dapat menyengat berkali-kali. Si jaket kuning dapat menyebabkan sangat banyak reaksi alergi
• Serangan semut api kepada seseorang dengan gigitan dari rahangnya, kemudian memutar kepalanya dan menyengat dari perutnya dengan alur memutar dan berkali-kali
d. Reaksi kulit yang lebar pada bagian gigitan atau serangan.
e. Infeksi kulit pada bagian gigitan atau serangan.
f. Penyakit serum (darah), sebuah reaksi pada pengobatan (antiserum) digunakan untuk mengobati gigitan atau serangan serangga. Penyakit serum menyebabkan rasa gatal dengan bintik-bintik merah dan bengkak serta diiringi gejala flu tujuh sampai empat belas hari setelah penggunaan anti serum.
g. Infeksi virus. Infeksi nyamuk dapat menyebarkan virus West Nile kepada seseorang, menyebabkan inflamasi pada otak (encephalitis).
h. Infeksi parasit. Infeksi nyamuk dapat menyebabkan menyebarnya malaria.
2. Definisi gigitan binatang berbisa
Gigitan binatang berbisa adalah gigitan atau serangan yang di akibatkan oleh gigitan hewan berbisa seperti ular, laba-laba, kalajengking, dll.
Korban gigitan ular adalah pasien yang digigit ular atau diduga digigit ular.
Ular yang berbisa memiliki ciri- ciri :
a. Bentuk kepala segiempat panjang
b. Gigi taring kecil
c. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan
Sedangkan ciri-ciri ular tidak berbisa seperti :
a. Bentuk kepala segitiga
b. Dua gigi taring besar di rahang atas
c. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
a. Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun sampai dengan koma.
b. Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
c. Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
f. Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat patukan
g. Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.
B. Penyebab Gigitan Serangga Dan Binatang Berbisa
a. Penyebab gigitan serangga dan binatang berbisa
Serangga dan binatang berbisa tidak akan menyerang kecuali kalau mereka digusar atau diganggu. Kebanyakan gigitan dan sengatan digunakan untuk pertahanan. Gigitan serangga untuk melindungi sarang mereka.
Sebuah gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa(racun) yang tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi kepada penderita. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lokasi yang tersengat.
Lebah, tawon, penyengat, si jaket kuning, dan semut api adalah anggota keluarga Hymenoptera. Gigitan atau sengatan dari mereka dapat menyebabkan reaksi yang cukup serius pada orang yang alergi terhadap mereka. Kematian yang diakibatkan oleh serangga 3-4 kali lebih sering dari pada kematian yang diakibatkan oleh gigitan ular. Lebah, tawon dan semut api berbeda-beda dalam menyengat.
Ketika lebah menyengat, dia melepaskan seluruh alat sengatnya dan sebenarnya ia mati ketika proses itu terjadi. Seekor tawon dapat menyengat berkali-kali karena tawon tidak melepaskan seluruh alat sengatnya setelah ia menyengat.
Semut api menyengatkan bisanya dengan menggunakan rahangnya dan memutar tubuhnya. Mereka dapat menyengat bisa berkali-kali.
b. Gejala
Gejala dari gigitan serangga bermacam-macam dan tergantung dari berbagai macam faktor yang mempengaruhi. Kebanyakan gigitan serangga menyebabakan kemerahan, bengkak, nyeri, dan gatal-gatal di sekitar area yang terkena gigitan atau sengatan serangga tersebut. Kulit yang terkena gigitan bisa rusak dan terinfeksi jika daerah yang terkena gigitan tersebut terluka. Jika luka tersebut tidak dirawat, maka akan mengakibatkan peradangan akut.
Rasa gatal dengan bintik-bintik merah dan bengkak, desahan, sesak napas, pingsan dan hampir meninggal dalam 30 menit adalah gejala dari reaksi yang disebut anafilaksis. Ini juga diakibatkan karena alergi pada gigitan serangga. Gigitan serangga juga mengakibatkan bengkak pada tenggorokan dan kematian karena gangguan udara.Sengatan dari serangga jenis penyengat besar atau ratusan sengatan lebah jarang sekali ditemukan hingga mengakibatkan sakit pada otot dan gagal ginjal.
Sedangkan tanda dan gejala dari gigitan binatang berbisa seperti ular yaitu :
Tanda umum ular berbisa adalah kepalanya berbentuk segitiga. Tanda lain adalah dari penampakan langsung misalnya corak kulitnya. Dari bekas gigitan dapat dillihat dua lubang yang jelas akibat dua gigi taring rahang atas bila ularnya berbisa, dan deretan bekas gigi-gigi kecil berbentuk U bila ularnya tak berbisa.
Digigit oleh ular berbisa menghasilkan efek yang bervariasi, dari luka gigitan yang sederhana sampai sakit yang mengancam nyawa dan kematian. Hasil temuan pada korban gigitan ular dapat menyesatkan. Seorang korban dapat tidak menunjukkan gejala inisial, dan kemudian tiba-tiba menjadi sesak nafas dan menjadi syok.
Gejala dan tanda gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori mayor :
• Efek lokal : digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra (Naja spp) menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
• Perdarahan : Gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat menyebabkan perdarahan organ internal seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
• Efek sistem saraf : bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
• Kematian otot : bisa dari Russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
• Mata : semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.
C. Penatalaksanaan Gigitan Serangga Dan Binatang Berbisa
1. Penatalaksanaan pada gigitan serangga
Jika seseorang yang telah digigit serangga mengalami gejala seperti di atas maka carilah pengobatan. Gejala tersebut bisa jadi anafilaksis fatal.
Rasa gatal dengan bintik-bintik merah dan bengkak adalah gejala yang paling sering ditemui. Paling sering ini diobati di rumah dengan antihistamin.Jika gigitan menyebabkan infeksi (kemerahan dengan atau tanpa nanah, suhu tubuh tinggi, demam, atau kemerahan di tubuh), pergilah ke dokter.Jika tidak diketahui apa yang menggigit, sangat penting untuk menjaga area yang digigit agar tidak terjadi infeksi.
Hubungi dokter jika ada luka yang terbuka, mungkin itu sengatan racun laba-laba. Seseorang yang mempunyai riwayat tergigit atau tersengat serangga harus pergi ke rumah sakit terdekat jika mendapati gejala lain. Sedang orang yang tidak mempunyai riwayat tergigit serangga juga harus ke bagian gawat darurat jika:
a. Mendesah
b. Sesak nafas
c. Dada sesak atau sakit
d. Tenggorokan sakit atau susah berbicara
e. Pingsan atau lemah
f. Infeksi
a. Pengobatan gigitan serangga pribadi di rumah
Pengobatan tergantung pada jenis reaksi yang terjadi. Jika hanya kemerahan dan nyeri pada bagian yang digigit, cukup menggunakan es sebagai pengobatan. Bersihkan area yang terkena gigitan dengan sabun dan air untuk menghilangkan partikel yang terkontaminasi oleh serangga (seperti nyamuk). Partikel-partikel dapat mengkontaminasi lebih lanjut jika luka tidak dibersihkan.
Pengobatan dapat juga menggunakan antihistamin seperti diphenhidramin (Benadryl) dalam bentuk krim/salep atau pil. Losion Calamine juga bisa membantu mengurangi gatal-gatal.
2. Penatalaksanaan pada gigitan binatang berbisa
Penatalaksanaan tergantung derajat keparahan envenomasi; dibagi menjadi perawatan di lapangan dan manajemen di rumah sakit
a. Perawatan di Lapangan
Seperti kasus-kasus emergensi lainnya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan pasien sampai mereka tiba di instalasi gawat darurat. Sering penatalaksanaan dengan autentisitas yang kurang lebih memperburuk daripada memperbaiki keadaan, termasuk membuat insisi pada luka gigitan, menghisap dengan mulut, pemasangan turniket, kompres dengan es, atau kejutan listrik. Perawatan di lapangan yang tepat harus sesuai dengan prinsip dasar emergency life support. Tenangkan pasien untuk menghindari hysteria selama implementasi ABC (Airway, Breathing, Circulation).
b. Pertolongan Pertama :
1) Cegah gigitan sekunder atau adanya korban kedua. Ular dapat terus mengigit dan menginjeksikan bisa melalui gigitan berturut-turut sampai bisa mereka habis.
2) Buat korban tetap tenang, yakinkan mereka bahwa gigitan ular dapat ditangani secara efektif di instalasi gawat darurat. Batasi aktivitas dan imobilisasi area yang terkena (umumnya satu ekstrimitas), dan tetap posisikan daerah yang tergigit berada di bawah tinggi jantung untuk mengurangi aliran bisa.
3) Jika terdapat alat penghisap, (seperti Sawyer Extractor), ikuti petunjuk penggunaan. Alat penghisap tekanan-negatif dapat memberi beberapa keuntungan jika digunakan dalam beberapa menit setelah envenomasi. Alat ini telah direkomendasikan oleh banyak ahli di masa lalu, namun alat ini semakin tidak dipercaya untuk dapat menghisap bisa secara signifikan, dan mungkin alat penghisap dapat meningkatkan kerusakan jaringan lokal.
4) Buka semua cincin atau benda lain yang menjepit / ketat yang dapat menghambat aliran darah jika daerah gigitan membengkak. Buat bidai longgar untuk mengurangi pergerakan dari area yang tergigit.
5) Monitor tanda-tanda vital korban — temperatur, denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah – jika mungkin. Tetap perhatikan jalan nafas setiap waktu jika sewaktu-waktu menjadi membutuhkan intubasi.
6) Jika daerah yang tergigit mulai membengkak dan berubah warna, ular yang mengigit kemungkinan berbisa.
7) Segera dapatkan pertolongan medis. Transportasikan korban secara cepat dan aman ke fasilitas medis darurat kecuali ular telah pasti diidentifikasi tidak berbahaya (tidak berbisa). Identifikasi atau upayakan mendeskripsikan jenis ular, tapi lakukan jika tanpa resiko yang signifikan terhadap adanya gigitan sekunder atau jatuhnya korban lain. Jika aman, bawa serta ular yang sudah mati. Hati-hati pada kepalanya saat membawa ular – ular masih dapat mengigit hingga satu jam setelah mati (dari reflek). [5] Ingat, identifikasi yang salah bisa fatal. Sebuah gigitan tanpa gejala inisial dapat tetap berbahaya atau bahkan fatal.
8) Jika berada di wilayah yang terpencil dimana transportasi ke instalasi gawat darurat akan lama, pasang bidai pada ekstremitas yang tergigit. Jika memasang bidai, ingat untuk memastikan luka tidak cukup bengkak sehingga menyebabkan bidai menghambat aliran darah. Periksa untuk memastikan jari atau ujung jari tetap pink dan hangat, yang berarti ekstrimitas tidak menjadi kesemutan, dan tidak memperburuk rasa sakit.
9) Jika dipastikan digigit oleh elapid yang berbahaya dan tidak terdapat efek mayor dari luka lokal, dapat dipasang pembalut dengan teknik imobilisasi dengan tekanan. Teknik ini terutama digunakan untuk gigitan oleh elapid Australia atau ular laut. Balutkan perban pada luka gigitan dan terus sampai ke bagian atas ekstremitas dengan tekanan seperti akan membalut pergelangan kaki yang terpeleset. Kemudian imobilisasi ekstremitas dengan bidai, dengan tetap memperhatikan mencegah terhambatnya aliran darah. Teknik ini membantu mencegah efek sistemik yang mengancam nyawa dari bisa, tapi juga bisa memperburuk kerusakan lokal pada sisi gigitan jika gejala yang signifikan terdapat di sana.
c. Manajemen di Rumah Sakit
Perawatan definitif meliputi pengecekan kembali ABC dan mengevaluasi pasien atas tanda-tanda syok (seperti takipneu, takikardi, kulit kering dan pucat, perubahan status mental, hipotensi). Rawat dahulu keadaan yang mengancam nyawa. Korban dengan kesulitan bernafas mungkin membutuhkan endotracheal tube dan sebuah mesin ventilator untuk menolong korban bernafas. Korban dengan syok membutuhkan cairan intravena dan mungkin obat-obatan lain untuk mempertahankan aliran darah ke organ-organ vital.
Semburan bisa ular sendok, apabila mengenai mata, dapat mengakibatkan iritasi menengah dan menimbulkan rasa pedih yang hebat. Mencucinya bersih-bersih dengan air yang mengalir sesegera mungkin dapat membilas dan menghanyutkan bisa itu, mengurangi iritasi dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada mata.
Penderajatan envenomasi membedakan kebutuhan akan antivenin pada korban gigitan ular-ular viper. Derajat dibagi dalam ringan, sedang, atau berat.
a. Envenomasi ringan ditandai dengan rasa sakit lokal, edema, tidak ada tanda-tanda toksisitas sistemik, dan hasil laboratorium yang normal.
b. Envenomasi sedang ditandai dengan rasa sakit lokal yang hebat; edema lebih dari 12 inci di sekitar luka; dan toksisitas sistemik termasuk nausea, vomitus dan penyimpangan pada hasil laboratorium (misalnya penurunan jumlah hematokrit atau trombosit).
c. Envenomasi berat ditandai dengan ptekie, ekimosis, sputum bercampur darah, hipotensi, hipoperfusi, disfungsi renal, perubahan pada protrombin time dan tromboplastin time parsial teraktivasi, dan hasil-hasil abnormal dari tes-tes lain yang menunjukkan koagulopati konsumtif.
Penderajatan envenomasi merupakan proses yang dinamis. Dalam beberapa jam, sindrom ringan awal dapat berkembang menjadi sedang bahkan reaksi yang berat.
Beri antivenin pada korban gigitan ular koral sebagai standar perawatan jika korban datang dalam 12 jam setelah gigitan, tanpa melihat adanya tanda-tanda lokal atau sistemik. Neurotoksisitas dapat muncul tanpa tanda-tanda sebelumnya dan berkembang menjadi gagal nafas.
Bersihkan luka dan cari pecahan taring ular atau kotoran lain. Suntikan tetanus diperlukan jika korban belum pernah mendapatkannya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Beberapa luka memerlukan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Keperawatan Paliatif pada Pasian Gagal Ginjal Kronis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.
Pada penyakit GGK stadium 5, terapi yang bisa dilakukan hanya pemberian hemodialisis yang hanya bertujuan untuk mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.Tindakan hemodialisis ini termasuk salah satu dalam perawatan paliatif pada penyakit GGK.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana konsep dasar penyakit GGK serta bagaimana keperawatan paliatif pada klien GGK?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui keperawatan paliatif pada klien dengan GGK.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
a. Konsep dasar penyakit GGK
b. Upaya keperawatan paliatif terhadap GGK
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Penyakit Gagal Ginjal Kronis
1. Pengertian
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang persisten dan irreversible (Mansjoer, 2000)
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner and Suddarth, 2002).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun ( Price,Silvia Anderson, 1995).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis,pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter. Dan penyakit ginjal polikistik seperti gangguan vaskuler, infeksi, medikasi, atau agens toksik. Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, cadmium, merkuri, dan kromium.
2. Etiologi
Menurut Mansjoer (2001) etiologi dari gagal ginjal kronik adalah glomerulonefritik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati, diabetik, penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout.
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes) (Doenges, 1999; 626).
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik
• Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbale
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
3. Patofisiologi
Pada gagal ginjal terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk akhir metabolisme protein tidak dapat diekskresikan ke dalam urine sehingga tertimbun didalam darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh, dan semakin banyak timbunan produk sampah uremia maka gejala yang ditimbulkan semakin berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens kreatinin akan menurun sehingga kreatinin darah akan meningkat. Kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya juga meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh, sementara BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit ginjal tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan medikasi seperti steroid.
Ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal dan sering terjadi retensi natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron.
Asidosis sering terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mengeluarkan ion H+ (muatan basa) yang berlebihan, ketidakmampuan menyekresikan ammonia (NH3+) dan mengabsorpsi bikarbonat (HCO3-).
Anemia terjadi akibat sekresi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik, terutama dari saluran gastrointentinal.
Penurunan GFR juga mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum sehingga terjadi penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar kalsium menyebabkan sekresi kadar parathormon, terjadi respon abnormal sehingga kalsium dalam tulang menurun menyebabkan penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik. Disamping itu penyakit tulang juga disebabkan penurunan produksi metabolit aktif vitamin D (1,25 dehidrokolekalsiferol).
4. Klasifikasi gagal ginjal kronik
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG. Derajat Penjelasan LFG :
a. Derajat 1 : Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ > 90
b. Derajat 2 : Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60-89
c. Derajat 3 : Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang 30-59
d. Derajat 4 : Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15- 29
e. Derajat 5 : Gagal ginjal < 15 atau dialysis
5. Gejala klinis
Pada GGK semua sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia. Keparahan gejala klinis tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien. Gejala klinis yang muncul antara lain :
a. Manifestasi kardiovaskuler mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron), piting edema, edema periorbital, frikction rub pericardial dan pembesaran vena leher.
b. Gejala integumen mencakup : warna kulit abu-abu mengkilat, rasa gatal yang parah (pruritus), kulit kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Gejala gastrointestinal mencakup : napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah, cegukan, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran GI.
d. Gejala Pulmoner mencakup : krekels, sputum kental, napas dangkal dan pernapasan kussmaul.
e. Gejala neurologi mencakup : konfusi (perubahan tingkat kesadaran), tidak mampu berkonsentrasi, kelemahan dan keletihan, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku.
f. Gejala musculoskeletal mencakup : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang dan foot drop.
g. Gangguan system reproduktif mencakup amenore dan atropi testikuler.
6. Keluhan atau masalah yang sering timbul pada pasien GGK
a. Fisik
Mual, muntah, nyeri, odema, lemas, sianosis, sering terjaga
b. Psikologi
Ansietas (cemas), binggung, putus asa
c. Sosial
Tidak mau bicara, tidak member respon terhadap pembicaraan
d. Spiritual
Kehilangan keyakinan nilai luhur atau yang maha kuasa (Tuhan)
e. Kultural
Persepsi pasien tentang penyakit yang dihadapinya dikaitkan dengan kepercayaan yang dianut pasien, gelisah.
7. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : edema jaringan umum, kulit coklat kehijauan/kuning, distensi abdomen, pruritus, petekie
b. Palpasi : pitting pada kaki, nadi kuat, hipertensi, pembesaran hati (tahap akhir), perubahan turgor kulit
c. Auskultasi : disritmia jantung, takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman (pernafasan kusmaul)
8. Pemeriksaan penunjang/diagnostik
Pemeriksaan penunjang mencakup :
a. Pemeriksaan laboratorium :
1) Urine :
Volume : oligouria atau anuria, warna keruh, berat jenis kurang dari 1,015, osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg, klirens kreatinin mungkin agak menurun, natrium > 40 mEq/L, proteinuria (3-4+).
2) Darah :
BUN/Kreatinin meningkat (kreatinin 10 mg/dl), Hematokrit menurun, HB < 7-8 g/dL), Gas darah arteri : pH < 7,2 ,bikarbonat dan PCO2 menurun. Natrium mungkin rendah atau normal, kalium, magnesium/ fosfat meningkat, kalsium menurun, protein ( khususnya albumin) menurun, osmolalitas serum > 285 mOsm/kg.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) USG Ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran kemih atas.
2) Biopsy ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologist.
3) Endoskopi ginjal, nefroskopi : menentukan pelvis ginjal; keluar batu, hematuri, pengangkatan tumor selektif.
4) EKG : mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
5) KUB foto : menunjukkan ukuran ginjal/ ureter/ kandung kemih dan adanya obstruksi batu.
6) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan : menunjukkan demineralisasi dan kalsifikasi.
B. Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
1. Definisi perawatan paliatif
Perawatan Paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.
Perawatan paliatif untuk mencegah, memperbaiki, mengurangi gejala-gejala suatu penyakit, namun bukan berupaya penyembuhan.
Suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan, penilaian, pengobatan nyeri dan masalah-masalah fisik lain, juga masalah psikologis dan spiritual lainnya .
2. Prinsip perawatan paliatif
a. Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain
b. Menghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu proses normal
c. Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian
d. Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual, sosial, budaya dari pasien dan keluarganya, termasuk dukungan saat berkabung.
e. Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat mungkin tetap aktif sampai kematiannya.
f. Memberi sistim dukungan untuk menolong keluarga pasien melalui masa sakit pasien, dan sewaktu masa perkabungan
3. Karakteristik perawatan paliatif
a. Menggunakan pendekatan tim untuk mengetahui kebutuhan pasien dan keluarganya, termasuk konseling kedukaan bila diperlukan.
b. Meningkatkan kwalitas hidup, dan juga secara positif mempengaruhi perjalanan penyakit.
c. Perawaatan aktif, total bagi pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
d. Pendekatan holistik : fisik, mental, spiritual, sosial
e. Pendekatan multi-disipliner : medis, non-medis, keluarga
4. Manfaat perawatan paliatif
a. Meningkatkan kualitas hidup Pasien GGK dan keluarganya
b. Mengurangi penderitaan pasien
c. Mengurangi frekuensi kunjungan ke rumah sakit
d. Meningkatkan kepatuhan pengobatan
5. Pelaksana perawatan paliatif
a. Petugas medis :
1) Perawat
2) Manajer kasus
3) Dokter, fisioterapis, nutrisionis
b. Keluarga pasien
c. Petugas sosial komunitas : lay support
d. Anggota KDS
e. Petugas LSM
6. Syarat perawatan paliatif yang baik
a. Menghargai otonomi dan pilihan pasien
b. Memberi akses sumber informasi yang adekuat
c. Ciptakan hubungan saling menghargai dan mempercayai antara pasien dengan pemberi perawatan
d. Berikan dukungan bagi keluarga, anak, petugas sosial yang memberikan perawatan.
e. Hormati dan terapkan nilai-nilai budaya setempat, kepercayaan / agama, dan adat istiadat.
7. Jenis perawatan paliatif
a. Pengobatan medikamentosa terutama penatalaksanaan nyeri dan gejala-gejala lain
b. Perawatan psikososial berupa :
1) psikologis
2) social
3) spiritual
4) kedukaan/berkabung
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Seluruh factor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan factor yang dapat dipulihkan (mis : obstruksi) diidentifikasi dan ditangani.
Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup :
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan masukkan diet berlebih
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-angiostensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah marah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, kehilangan darah selama hemodialisis
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif, eritropoetin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga perlu mendapat penanganan dialysis yang adekuat untuk menurunkan kadar produk sampah uremik dalam darah.
9. Penanganan
a. Intervensi diet
Intervensi diet diperlukan pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat terhadap masukkan protein, masukkan cairan untik mengganti cairan yang hilang, masukkan natrium untuk mengganti natrium yang hilang, dan pembatasan kalium.
b. Hiperfosfatemia dan hipokalemia
Ditangani dengan antasida mengandung aluminum yang mengikat fosfat makanan di saluran gastrointestinal.
c. Hipertensi
Ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif control volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan pennganan pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretic, agens inotropik seperti digitalis atau dobutamine, dan dialysis. Asidosis metabolic pada gagal ginjal kronis biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian, suplemen natrium karbonat atau dialysis diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika kondisi ini menimbulkan gejala.
d. Hiperkalemia
Biasanya dicegah dengan penanganan dialysis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral atau intravena.
e. Abnormalitas Neurologi
Dapat terjadi dan memerlukan observasi dini terhadap tanda-tanda seperti kedutan, sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari cedera dan menempatkan pembatas tempat tidur. Diazepam intravena (Valium) atau fenitoin (Dilantin) biasanya diberikan untuk mengendalikan kejang.
f. Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan Epogen (eritropoetin manusia rekombinan). Anemia pada pasien (hematokrit kurang dari 30 %) muncul tanpa gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan penurunan toleransi aktivitas.
10. Terapi GGK
a. Terapi Farmakologis
1) Kontrol tekanan darah
a) Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
b) Penghambat kalsium, Diuretik
2) Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
3) Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
4) Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
5) Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
6) Koreksi hiperkalemia
7) Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
8) Terapi ginjal pengganti
b. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
c. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
d. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Hemodialisis akan mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien GGK harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya (3x seminggu selama 3-4 jam per kali terapi) atau sebelum melakukan operasi pencangkokan ginjal.
2) Dialisis peritoneal (DP)
Dalam 4 tahun terakhir mulai disosialisasikan sebuah alternatif dimana penderita dapat melakukan cuci darah sendiri di rumah. Metode tersebut dikenal dengan Peritoneal Dialysis (PD) yaitu metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kayaakan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneumke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru.
Ada dua macam PD, yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan Automated Peritoneal Dialysis (APD). APD relatif masih jarang digunakan oleh masyarakat Indonesia. CAPD dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita. Sebab, mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa banyak batasan untuk mengkonsumsi makanan. CAPD dipasang permanen di tubuh penderita, tepatnya di bagian perut. Sebuah catheter (kateter) dipasang di bagian perutnya dan disediakan sebuah kantong untuk menjamin kesterilannya. Dengan CAPD, penderita cukup melakukan kontrol 1 kali dalam sebulan ke rumah sakit. Pola kerja cuci darahnya, kateter disambungkan dengan titanium adapter yang akan mengalirkan cairan dextrose.
Cairan inilah yang berfungsi untuk menarik racun dari dalam tubuh. Proses pengaliran cairan ini hanya membutuhkan waktu10 menit. Dalam sehari dilakukan sebanyak 3-4 kali. Jaraknya sekitar 4 sampai 6 jam dari satu pencucian dengan pencucian berikutnya. Kalau transfer setnya bisa diganti 6 bulan sekali. Kunci dari CAPD harus disiplin tinggi. Karena tanpa disiplin tidk bisa berhasil. Misalnya, saat melakukan pencucian darahtangan mereka harus bersih, AC dan kipas angin tidak boleh menyala serta lampu harus terang.
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.
Pada penyakit GGK stadium 5, terapi yang bisa dilakukan hanya pemberian hemodialisis yang hanya bertujuan untuk mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.Tindakan hemodialisis ini termasuk salah satu dalam perawatan paliatif pada penyakit GGK.
DAFTAR PUSTAKA
Brenner BM, Lazarus JM. 2000.Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi13. Jakarta: EGC.1435-1443.
Mansjoer A, et al. 2002.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001.Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Suwitra K. 2006.Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.581-584.
Brunner&Suddarth.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 vol 2.EGC:Jakarta
Drs. H. syaifuddin, B. AC. 1997. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif dkk, 2000. kapita Jilid I & II. Edisi ketiga. Jakarta : Media Acsulapius.
R. syamsu Hidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC.
http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/index.php?option=com_content&view=article&id=305:pengertian-gagal-ginjal-kronik&catid=53:perut&Itemid=68
http://hanif.web.ugm.ac.id/gagal-ginjal-kronik.html
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/gagal-ginjal-kronik/
http://indonesiannursing.com/2008/08/22/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-kronis-nursing-diagnosis-of-chronic-kidney-diseases/
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.
Pada penyakit GGK stadium 5, terapi yang bisa dilakukan hanya pemberian hemodialisis yang hanya bertujuan untuk mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.Tindakan hemodialisis ini termasuk salah satu dalam perawatan paliatif pada penyakit GGK.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana konsep dasar penyakit GGK serta bagaimana keperawatan paliatif pada klien GGK?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui keperawatan paliatif pada klien dengan GGK.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
a. Konsep dasar penyakit GGK
b. Upaya keperawatan paliatif terhadap GGK
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Penyakit Gagal Ginjal Kronis
1. Pengertian
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang persisten dan irreversible (Mansjoer, 2000)
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner and Suddarth, 2002).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun ( Price,Silvia Anderson, 1995).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis,pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter. Dan penyakit ginjal polikistik seperti gangguan vaskuler, infeksi, medikasi, atau agens toksik. Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, cadmium, merkuri, dan kromium.
2. Etiologi
Menurut Mansjoer (2001) etiologi dari gagal ginjal kronik adalah glomerulonefritik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati, diabetik, penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout.
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes) (Doenges, 1999; 626).
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik
• Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbale
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
3. Patofisiologi
Pada gagal ginjal terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk akhir metabolisme protein tidak dapat diekskresikan ke dalam urine sehingga tertimbun didalam darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh, dan semakin banyak timbunan produk sampah uremia maka gejala yang ditimbulkan semakin berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens kreatinin akan menurun sehingga kreatinin darah akan meningkat. Kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya juga meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh, sementara BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit ginjal tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan medikasi seperti steroid.
Ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal dan sering terjadi retensi natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron.
Asidosis sering terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mengeluarkan ion H+ (muatan basa) yang berlebihan, ketidakmampuan menyekresikan ammonia (NH3+) dan mengabsorpsi bikarbonat (HCO3-).
Anemia terjadi akibat sekresi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik, terutama dari saluran gastrointentinal.
Penurunan GFR juga mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum sehingga terjadi penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar kalsium menyebabkan sekresi kadar parathormon, terjadi respon abnormal sehingga kalsium dalam tulang menurun menyebabkan penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik. Disamping itu penyakit tulang juga disebabkan penurunan produksi metabolit aktif vitamin D (1,25 dehidrokolekalsiferol).
4. Klasifikasi gagal ginjal kronik
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG. Derajat Penjelasan LFG :
a. Derajat 1 : Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ > 90
b. Derajat 2 : Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60-89
c. Derajat 3 : Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang 30-59
d. Derajat 4 : Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15- 29
e. Derajat 5 : Gagal ginjal < 15 atau dialysis
5. Gejala klinis
Pada GGK semua sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia. Keparahan gejala klinis tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien. Gejala klinis yang muncul antara lain :
a. Manifestasi kardiovaskuler mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron), piting edema, edema periorbital, frikction rub pericardial dan pembesaran vena leher.
b. Gejala integumen mencakup : warna kulit abu-abu mengkilat, rasa gatal yang parah (pruritus), kulit kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Gejala gastrointestinal mencakup : napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah, cegukan, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran GI.
d. Gejala Pulmoner mencakup : krekels, sputum kental, napas dangkal dan pernapasan kussmaul.
e. Gejala neurologi mencakup : konfusi (perubahan tingkat kesadaran), tidak mampu berkonsentrasi, kelemahan dan keletihan, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku.
f. Gejala musculoskeletal mencakup : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang dan foot drop.
g. Gangguan system reproduktif mencakup amenore dan atropi testikuler.
6. Keluhan atau masalah yang sering timbul pada pasien GGK
a. Fisik
Mual, muntah, nyeri, odema, lemas, sianosis, sering terjaga
b. Psikologi
Ansietas (cemas), binggung, putus asa
c. Sosial
Tidak mau bicara, tidak member respon terhadap pembicaraan
d. Spiritual
Kehilangan keyakinan nilai luhur atau yang maha kuasa (Tuhan)
e. Kultural
Persepsi pasien tentang penyakit yang dihadapinya dikaitkan dengan kepercayaan yang dianut pasien, gelisah.
7. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : edema jaringan umum, kulit coklat kehijauan/kuning, distensi abdomen, pruritus, petekie
b. Palpasi : pitting pada kaki, nadi kuat, hipertensi, pembesaran hati (tahap akhir), perubahan turgor kulit
c. Auskultasi : disritmia jantung, takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman (pernafasan kusmaul)
8. Pemeriksaan penunjang/diagnostik
Pemeriksaan penunjang mencakup :
a. Pemeriksaan laboratorium :
1) Urine :
Volume : oligouria atau anuria, warna keruh, berat jenis kurang dari 1,015, osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg, klirens kreatinin mungkin agak menurun, natrium > 40 mEq/L, proteinuria (3-4+).
2) Darah :
BUN/Kreatinin meningkat (kreatinin 10 mg/dl), Hematokrit menurun, HB < 7-8 g/dL), Gas darah arteri : pH < 7,2 ,bikarbonat dan PCO2 menurun. Natrium mungkin rendah atau normal, kalium, magnesium/ fosfat meningkat, kalsium menurun, protein ( khususnya albumin) menurun, osmolalitas serum > 285 mOsm/kg.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) USG Ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran kemih atas.
2) Biopsy ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologist.
3) Endoskopi ginjal, nefroskopi : menentukan pelvis ginjal; keluar batu, hematuri, pengangkatan tumor selektif.
4) EKG : mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
5) KUB foto : menunjukkan ukuran ginjal/ ureter/ kandung kemih dan adanya obstruksi batu.
6) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan : menunjukkan demineralisasi dan kalsifikasi.
B. Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
1. Definisi perawatan paliatif
Perawatan Paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.
Perawatan paliatif untuk mencegah, memperbaiki, mengurangi gejala-gejala suatu penyakit, namun bukan berupaya penyembuhan.
Suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan, penilaian, pengobatan nyeri dan masalah-masalah fisik lain, juga masalah psikologis dan spiritual lainnya .
2. Prinsip perawatan paliatif
a. Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain
b. Menghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu proses normal
c. Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian
d. Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual, sosial, budaya dari pasien dan keluarganya, termasuk dukungan saat berkabung.
e. Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat mungkin tetap aktif sampai kematiannya.
f. Memberi sistim dukungan untuk menolong keluarga pasien melalui masa sakit pasien, dan sewaktu masa perkabungan
3. Karakteristik perawatan paliatif
a. Menggunakan pendekatan tim untuk mengetahui kebutuhan pasien dan keluarganya, termasuk konseling kedukaan bila diperlukan.
b. Meningkatkan kwalitas hidup, dan juga secara positif mempengaruhi perjalanan penyakit.
c. Perawaatan aktif, total bagi pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
d. Pendekatan holistik : fisik, mental, spiritual, sosial
e. Pendekatan multi-disipliner : medis, non-medis, keluarga
4. Manfaat perawatan paliatif
a. Meningkatkan kualitas hidup Pasien GGK dan keluarganya
b. Mengurangi penderitaan pasien
c. Mengurangi frekuensi kunjungan ke rumah sakit
d. Meningkatkan kepatuhan pengobatan
5. Pelaksana perawatan paliatif
a. Petugas medis :
1) Perawat
2) Manajer kasus
3) Dokter, fisioterapis, nutrisionis
b. Keluarga pasien
c. Petugas sosial komunitas : lay support
d. Anggota KDS
e. Petugas LSM
6. Syarat perawatan paliatif yang baik
a. Menghargai otonomi dan pilihan pasien
b. Memberi akses sumber informasi yang adekuat
c. Ciptakan hubungan saling menghargai dan mempercayai antara pasien dengan pemberi perawatan
d. Berikan dukungan bagi keluarga, anak, petugas sosial yang memberikan perawatan.
e. Hormati dan terapkan nilai-nilai budaya setempat, kepercayaan / agama, dan adat istiadat.
7. Jenis perawatan paliatif
a. Pengobatan medikamentosa terutama penatalaksanaan nyeri dan gejala-gejala lain
b. Perawatan psikososial berupa :
1) psikologis
2) social
3) spiritual
4) kedukaan/berkabung
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Seluruh factor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan factor yang dapat dipulihkan (mis : obstruksi) diidentifikasi dan ditangani.
Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup :
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan masukkan diet berlebih
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-angiostensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah marah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, kehilangan darah selama hemodialisis
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif, eritropoetin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga perlu mendapat penanganan dialysis yang adekuat untuk menurunkan kadar produk sampah uremik dalam darah.
9. Penanganan
a. Intervensi diet
Intervensi diet diperlukan pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat terhadap masukkan protein, masukkan cairan untik mengganti cairan yang hilang, masukkan natrium untuk mengganti natrium yang hilang, dan pembatasan kalium.
b. Hiperfosfatemia dan hipokalemia
Ditangani dengan antasida mengandung aluminum yang mengikat fosfat makanan di saluran gastrointestinal.
c. Hipertensi
Ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif control volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan pennganan pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretic, agens inotropik seperti digitalis atau dobutamine, dan dialysis. Asidosis metabolic pada gagal ginjal kronis biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian, suplemen natrium karbonat atau dialysis diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika kondisi ini menimbulkan gejala.
d. Hiperkalemia
Biasanya dicegah dengan penanganan dialysis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral atau intravena.
e. Abnormalitas Neurologi
Dapat terjadi dan memerlukan observasi dini terhadap tanda-tanda seperti kedutan, sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari cedera dan menempatkan pembatas tempat tidur. Diazepam intravena (Valium) atau fenitoin (Dilantin) biasanya diberikan untuk mengendalikan kejang.
f. Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan Epogen (eritropoetin manusia rekombinan). Anemia pada pasien (hematokrit kurang dari 30 %) muncul tanpa gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan penurunan toleransi aktivitas.
10. Terapi GGK
a. Terapi Farmakologis
1) Kontrol tekanan darah
a) Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
b) Penghambat kalsium, Diuretik
2) Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
3) Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
4) Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
5) Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
6) Koreksi hiperkalemia
7) Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
8) Terapi ginjal pengganti
b. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
c. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
d. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Hemodialisis akan mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien GGK harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya (3x seminggu selama 3-4 jam per kali terapi) atau sebelum melakukan operasi pencangkokan ginjal.
2) Dialisis peritoneal (DP)
Dalam 4 tahun terakhir mulai disosialisasikan sebuah alternatif dimana penderita dapat melakukan cuci darah sendiri di rumah. Metode tersebut dikenal dengan Peritoneal Dialysis (PD) yaitu metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kayaakan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneumke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru.
Ada dua macam PD, yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan Automated Peritoneal Dialysis (APD). APD relatif masih jarang digunakan oleh masyarakat Indonesia. CAPD dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita. Sebab, mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa banyak batasan untuk mengkonsumsi makanan. CAPD dipasang permanen di tubuh penderita, tepatnya di bagian perut. Sebuah catheter (kateter) dipasang di bagian perutnya dan disediakan sebuah kantong untuk menjamin kesterilannya. Dengan CAPD, penderita cukup melakukan kontrol 1 kali dalam sebulan ke rumah sakit. Pola kerja cuci darahnya, kateter disambungkan dengan titanium adapter yang akan mengalirkan cairan dextrose.
Cairan inilah yang berfungsi untuk menarik racun dari dalam tubuh. Proses pengaliran cairan ini hanya membutuhkan waktu10 menit. Dalam sehari dilakukan sebanyak 3-4 kali. Jaraknya sekitar 4 sampai 6 jam dari satu pencucian dengan pencucian berikutnya. Kalau transfer setnya bisa diganti 6 bulan sekali. Kunci dari CAPD harus disiplin tinggi. Karena tanpa disiplin tidk bisa berhasil. Misalnya, saat melakukan pencucian darahtangan mereka harus bersih, AC dan kipas angin tidak boleh menyala serta lampu harus terang.
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.
Pada penyakit GGK stadium 5, terapi yang bisa dilakukan hanya pemberian hemodialisis yang hanya bertujuan untuk mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.Tindakan hemodialisis ini termasuk salah satu dalam perawatan paliatif pada penyakit GGK.
DAFTAR PUSTAKA
Brenner BM, Lazarus JM. 2000.Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi13. Jakarta: EGC.1435-1443.
Mansjoer A, et al. 2002.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001.Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Suwitra K. 2006.Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.581-584.
Brunner&Suddarth.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 vol 2.EGC:Jakarta
Drs. H. syaifuddin, B. AC. 1997. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif dkk, 2000. kapita Jilid I & II. Edisi ketiga. Jakarta : Media Acsulapius.
R. syamsu Hidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC.
http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/index.php?option=com_content&view=article&id=305:pengertian-gagal-ginjal-kronik&catid=53:perut&Itemid=68
http://hanif.web.ugm.ac.id/gagal-ginjal-kronik.html
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/gagal-ginjal-kronik/
http://indonesiannursing.com/2008/08/22/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-kronis-nursing-diagnosis-of-chronic-kidney-diseases/
Langganan:
Postingan (Atom)