Daftar Blog Saya

Selasa, 23 April 2013

A. Konsep Dasar Penyakit 1. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik/PPOK (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002) PPOK merupakan kondisi irreversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru yang bersifat progresif. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002). Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002). 2. Penyebab/faktor Prediposisi PPOK disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus. Faktor resiko lainnya termasuk keadaan social-ekonomi dan status pekerjaaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat lokasi pertambangan, perokok pasif, atau terkena polusi udara dan konsumsi alkohol yang berlebihan. Obstruksi jalan nafas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam tergantung pada penyakit. • Pada bronchitis kronik dan bronkiolitis, penumpukan lender dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan nafas. • Pada emfisema, obstruktif pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara pada paru. • Pada asma, jalan nafas bronkial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir ke dalam paru-paru. 3. Patologi/Patofisiologi Terjadinya Penyakit Patofisiologi PPOK adalah sangat kompleks dan komprehensif sehingga mempengaruhi semua sistem tubuh yang artinya sama juga dengan mempengaruhi gaya hidup manusia. Dalam prosesnya, penyakit ini bisa menimbulkan kerusakan pada alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi pernafasan, kemudian mempengaruhi oksigenasi tubuh secara keseluruhan.  Patofisiologi Bronkitis Kronik Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.  Patofisiologi Emfisema Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius. Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan hiperekspansi kronik. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang. 4. Gejala Klinis Gejala-gejala awal dari PPOK, yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok, adalah batuk dan adanya lendir. Batuk-batuk dan produksi dahak khususnya menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.Sering terjadi nyeri kepala dan pilek. Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Selain itu, pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan, penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukup oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal. 5. Pemeriksaan Fisik Kondisi fisik yang bisa dijumpai pada pasien dengan PPOK, bisa meliputi dyspnea, warna kulit pucat, pernafasan mulut yang dangkal dan cepat, dan bernafas menggunakan otot bantu pernapasan/asesori. PPOK menyebabkan peningkatan diameter anterior-posterior dada sehingga dada tampak mengembung seperti tong (Barrel Chest). Karena mengalami kesulitan dalam menghirup udara, maka pasien memiliki fase ekspirasi yang diperpanjang (lebih dari empat detik). Pada PPOK yang ringan, mungkin tidak ditemukan kelainan selama pemeriksaan fisik, kecuali terdengarnya beberapa mengi pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop. Suara pernafasan pada stetoskop juga terdengar lebih keras. 6. Pemeriksaan Diagnostik Test faal paru : 1. Menggunakan spirometri 2. Menentukan penyebab dyspnea, obstruksi, derajat disfungsi 3. Pemeriksaan utama adalah FEV₁ dan rasio FEV₁/FVC 4. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru Obstruktif Kronik 5. Kapasitas inspirasi=↓ pd emfisema 6. Volume residu: ↑ emfisema, bronkitis kronis dan asma Darah : 1. Eo dan total IgE serum meningkat. 2. Hb ↑ 3. Analisa Gas Darah ® PaO₂ ↓, PaCO₂ ↑, asidosis respiratorik (emfisema & bronkitis), Alkalosis respiratorik (asma) 4. Pulse oksimetri ® SaO2 oksigenasi menurun. 5. Elektrolit menurun oleh karena pemakaian diuretika pada cor pulmonale. Radiologi : 1. Thorax foto (AP dan lateral) 2. Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru-paru. • EKG Deviasi aksis kanan, peninggian gel P (asma berat), disritmia atrial (bronkitis), peninggian gel P pd lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema) • Sputum Kultur utk menentukan adanya infeksi, identiikasi patogen 7. Therapy/Penatalaksanaan • Mobilisasi dahak. Ditujukan untuk mengurangi keluhan, batuk-batuk, ekspektorasi,sesak dengan cara memberikan obat-obat yang memudahkan pengeluaran sputum dan yang melebarkan saluran nafas. (a). Ekspektoransia. Pengenceran dan mobilisasi dahak merupakan tujuan pengobatan yang penting pada keadaan eksaserbasi dan juga pada keadaan-keadaan menahun dan stabil yang disertai jalan nafas yang berat. Hidrasi yang cukup merupakan yang paling efektif, penderita diharuskan untuk cukup banyak air. Cairan kadang-kadang perlu diberikan perenteral pada penderita dengan obstruksi jalan nafas yang berat disertai kesulitan mengeluarkan dahak. (b). Obat-obat mukolitik Dua jenis mukolitik yang paling banyak dipakai adalah Asetil cystein dan Bromhexin. Asetil cystein yang diberikan pada oral, memberikan efek mukolitik yang cukup banyak efek samping dibandingkan aerosol yang sering menimbulkan bronkospasme. Bromhexin sangat populer oleh karena penggunaannya yang mudah (tablet, elixir,sirup). (c) Nebulisasi. Inhalasi uap air atau dengan aerosol melalui nebuliser, dan juga ditambahkan dengan obat-obat bronkodilator dan mukolitik. • Obat-obat bronkodilator. Merupakan obat utama dalam mengatasi obstruksi jalan nafas. Adanya respon terhadap bronkodiLator yang dinilai dengan spirometri merupakan petunjuk yang dapat digunakan untuk pemakaian obat tersebut. • Antibiotika. Peranan infeksi sebagai faktor penyebab timbulnya PPOK terutama pada bronkitis menahun masih dalam perdebatan namun jelas infeksi berpengaruh terhadap perjalanan penyakit bronkitis menahun dan terutama pada keadaan-keadaan dengan eksaserbasi. Penyebab eksaserbasi tersering adalah virus, yang sering diikuti infeksi bakterial. Antibiotika yang efektif terhadap eksaserbasi infeksi ampicillin, tetracyclin, cotrimoxazole, erythromycin, diberikan 1 - 2 minggu. Perubahan dari sifat dahak merupakan petunjuk penting ada tidaknya infeksi, dahak menjadi hijau atau kuning. B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data Subyektif • Klien mengeluh sesak napas. • Klien mengatakan mengalami batuk berdahak. • Klien mengeluh pilek. • Klien mengatakan nafsu makan berkurang. • Klien mengeluh nyeri kepala. • Klien mengeluh sesak nafas bertambah selama dan setelah aktivitas. Data Obyektif • Wajah klien terlihat pucat. • Klien terlihat lemah. • Adanya tachipnea dan dyspnea. • Adanya sianosis. • Tampak produksi sputum yang berlebihan dan kental. • Frekuensi nadi meningkat (>100x/menit). • Terdengar suara ronchi. • Klien tampak meringis dan gelisah. • Penurunan berat badan. • Albumin serum menurun (< 3,5 mEq) • Pa O2 2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sputum ditandai dengan batuk berdahak, batuk tidak efektif, ronchi, RR meningkat (>20x/menit). 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler ditandai dengan dispnea, nilai AGD tak normal (Pa O2 <80mmhg data-blogger-escaped-span="">, retraksi dinding dada, sianosis sentral dan perifer (+), batuk produktif (+). 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan dalam memasukan, mencerna, dan mengabsorpsi makanan karena faktor biologi ditandai dengan nafsu makan menurun, penurunan berat badan, dan serum albumin < 3,5 mEq. 4. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh atau pertahanan primer tidak adekuat DAFTAR PUSTAKA 1. Brunner & Suddart. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta, EGC. 2. Doenges, Moorhouse, Geissler. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta. EGC. 3. Price, Sylvia. 2003 . Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC 4. Carpenito-Moyet, Lynda Juall.2006.Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC 5. NANDA, Panduan Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2005-2006. 6. Sarwono, W.2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Balai Penerbit FKUI 7. Anonim. 2007. Keperawatan PPOM. Available at : http://wandizone.blogspot.com/asuhan (akses: 21 Juli 2012) 8. Anonim-2. 2008. PPOM. Available at : http://red-lychee89.blog.friendster.com/penyakit-paru-menahun-obstruktif-ppom/ (akses: 21 Juli 2012)

Laporan Pendahuluan pada PAsien SOL

KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Definisi Tumor otak merupakan sebuah lesi yang terletak pada intracranial yang menempati ruang di dalam tengkorak.(Smeltzer, Suzane C. 2001). Tumor otak merupakan salah satu tumor susunan saraf pusat, baik ganas maupun tidak. Tumor ganas di susunan saraf pusat adalah semua proses neoplastik yang terdapat dalam ruang intrakranial atau dalam kanalis spinalis, yang mempunyai sebagian atau seluruh sifat-sifat proses ganas spesifik seperti yang berasal dari sel-sel saraf di meningen otak, termasuk juga tumor yang berasal dari sel penunjang (neuroglia), sel epitel pembuluh darah, dan selaput otak (Padmosantjojo, 2002) 2. Epidemiologi/Insiden kasus Insidensi tumor intrakranial berkisar antara 4,2-5,4 per 100.000 penduduk. Pada semua autopsi yang dilakukan oleh Bernat & Vincent (1987) dijumpai 2 % tumor otak. Pada anak di bawah 16 tahun tumor otak adalah 2,4 per 100.000 anak. Tampaknya insidensi tumor cenderung naik dengan bertambahnya umur. Tidak diketahui secara pasti perbedaan insidensi menurut ras, tempat tinggal maupun iklim (Harsono, 2008) Tumor otak masih menjadi permasalahan serius dari tipe kanker yang diderita oleh anak-anak. Tumor otak merupakan kanker kedua pada anak-anak setelah leukemia. Insiden terjadinya terjadinya kanker otak pada anak-anak 13,3 per 100 ribu populasi, serta angka kematian akibat kanker otak pada anak-anak 2,6 per 100 ribu populasi terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2001-2005. Sayangnya, angka insiden tumor otak di Indonesia belum banyak di temukan dalam literatur. 3. Penyebab/faktor prediposisi Penyebab dari tumor belum diketahui. Namun ada bukti kuat yang menunjukan bahwa beberapa agent bertanggung jawab untuk beberapa tipe tumor-tumor tertentu. Agent tersebut meliptu faktor herediter, kongenital, virus, toksin, dan defisiensi immunologi. Ada juga yang mengatakan bahwa tumor otak dapat terjadi akibat sekunder dari trauma cerebral dan penyakit peradangan.. Metastase ke otak dari tumor bagian tubuh lain juga dapat terjadi. Karsinoma metastase lebih sering menuju ke otak dari pada sarkoma. Lokasi utama dari tumor otak metastase berasal dari paru-paru dan payudara.Meningioma sedikit lebih banyak pada wanita. Neurofibroma, neurilema dan glioma sering berhubungan dengan neurofibromatosis. Sementara itu neurofibromatosis tergolong pada kelainan perkembangan dari neuroektoderm dan mesoderm yang disebut fakomatosa. Contoh fakomatosa lain misalnya tuberosklerosis yang selalu disertai peningkatan insiden tumor otak. Radiasi merupakan satu faktor untuk timbulnya tumor otak. Trauma, infeksi dan toksin belum dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya tumor otak. Tetapi bahan industry tertentu seperti nitrosourea adalah karsinogen yang poten, setidak-tidaknya pada kelinci percobaan. Limfoma lebih sering terdapat pada mereka yang mendapat imunosupresan seperti pada transplatasi ginjal, sumsum tulang dan pada AIDS (Harsono, 2008). 4. Patofisiologi Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis dengan gejala-gejala terjadi berurutan. Hal ini menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan klien. Gejala-gejalanya sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi/invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Tumor intracranial primer atau neoplasma adalah suatu peningkatan sel-sel intrinsik dari jaringan otak dan kelenjar pituitari dan pineal. Tumor sekunder/metastase merupakan penyebab tumor intracranial, kebanyakan merupakan metastase dari tumor paru-paru dan payudara. Prognosis untuk pasien dengan tumor intra cranial tergantung pada diagnosa awal dan penanganannya, sebab pertumbuhan tumor akan menekan pada pusat vital dan menyebabkan kerusakan serta kematian otak. Meskipun setengah dari seluruh tumor adalah jinak, dapat juga menyebabkan kematian bila menekan pusat vital. Gejala-gejala dari tumor intra cranial akibat efek lokal dam umum dari tumor. Efek lokal berupa infiltrasi, invasi dan pengrusakan jaringan otak pada bagian tertentu. Ada juga yang langsung menekan pada struktur saraf, menyebabkan degenerasi dan gangguan sirkulasi lokal. Edema dapat berkembang dan terjadi peningkatan takanan intracranial (TIK). Peningkatan TIK akan dipindahkan melalui otak dan sistem ventrikel. Dapat juga terjadi sistem ventrikel ditekan dan diganti sehingga menyebabkan obstruksi sebagian vebtrikel. Papilledema akibat dari efek umum dari peningkatan TIK, kematian biasanya akibat dari kompressi otak tengah akibat herniasi. 5. Klasifikasi 1. Tumor yang berasal dari jaringan otak (intramedular) : • Gliomas • Astrositoma • Glioblastoma • Ependimoma • Medulloblastoma • Oligodendroglioma • Kista Koloid • Hemangioblastoma 2. Tumor yang muncul dari pembungkus otak (ekstramedular): • Cleufibroma • Meningioma Terbungkus dalam kapsul , dapat dipastikan dengan baik, pertumbuhan keluar jaringan otak, menekan daripada menginvasi otak. 3. Tumor yang berkembang di dalam atau pada saraf kranial: • Neuroma akustik Diturunkan dari lapisan pembungkus saraf akustik saraf optik spongioblastoma polar. 4. Lesi Metastatik (tumor ekstradural): Merupakan metastase dari lesi primer, biasanya pada payudara, prostal, tiroid, paru–paru, ginjal dan lambung. 5. Tumor Kelenjar Tanpa Duktus • Hipofisis • Pinealis 6. Tumor Pembuluh darah • Hemangioblastoma • Angioma 7. Tumor-tumor konginetal a) Glioma Kriteria: 1. Banyak terjadi pada neoplasma otak 2. Tumor menyebar dengan infiltrasi ke dalam sekitar jaringan saraf dan hal ini tidak di pertimbangkan untuk melakukan reseksi tanpa menyebabkan kerusakan sekali pada struktur vital b) Adeno Hipofisis Kriteria: 1. Menyebabkan gejala-gejala akibat tekanan pada struktur sekitar atau terjadi perubahan hormon. 2. Pengaruh tekanan menyebabkan sakit kepala, gangguan fungsi penglihatan,gangguan hipotalamus( gangguan tidur, nafsu makan, suhu, dan emosi) 3. Peningkatan TIK 4. Pembesaran serta erosi sella tursika 5. Akromegali 6. Syndrom chusing c) Angioma Kriteria: 1. Pembesaran pembuluh darah abnormal yang didapat di dalam atau di luar daerah otak. 2. Beberapa angioma tanpa menyebabkan gejala 3. Terdengar suara bruit sampai di tengkorak. 4. Beresiko terhadap cedera vaskuler serebral(stroke) d) Neuro Akustik Kriteria: 1. Tumor pada saraf kranial kedelapan, saraf untuk pendengaran dan keseimbangan. 2. Tumbuh lambat dan dapat menjadi besar. 3. Pasien mengalami kehilangan pendengaran, tinnitus dan episode vertigo dan gaya berjalan sempoyongan. 6. Gejala klinis Tumor otak merupakan penyakit yang sukar terdiagnosa secara dini, karena pada awalnya menunjukkan berbagai gejala yang menyesatkan dan meragukan tapi umumnya berjalan progresif. a. Gejala serebral umum Dapat berupa perubahan mental yang ringan (Psikomotor asthenia), yang dapat dirasakan oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah tersinggung, emosi, labil, pelupa, perlambatan aktivitas mental dan sosial, kehilangan inisiatif dan spontanitas, mungkin diketemukan ansietas dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat dijumpai pada 2/3 kasus • Nyeri Kepala Diperkirakan 1% penyebab nyeri kepala adalah tumor otak dan 30% gejala awal tumor otak adalah nyeri kepala. Sedangkan gejala lanjut diketemukan 70% kasus. Sifat nyeri kepala bervariasi dari ringan dan episodik sampai berat dan berdenyut, umumnya bertambah berat pada malam hari dan pada saat bangun tidur pagi serta pada keadaan dimana terjadi peninggian tekanan tinggi intrakranial. Adanya nyeri kepala dengan psikomotor asthenia perlu dicurigai tumor otak. • Muntah Terdapat pada 30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala. Lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior, umumnya muntah bersifat proyektif dan tak disertai dengan mual. Muntah , kadang-kadang di pengaruhi oleh asupan makanan, yang selalu disebabkan adanya iritasi pada pusat vagal di medula. Jika muntah dengan tipe yang kuat, ini disebut sebagai muntah proyekti Papiledema ( Edema pada saraf optik) Ada sekitar 70% sampai 75 % dari pasien dan dihubungkan dengan gangguan penglihatan seperti penurunan ketajaman penglihatan, diplopia ( pandangan ganda) dan penurunan lapang pandangan • Kejang Bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25% kasus, dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak. b. Menyebabkan peningkatan tekanan TIK Berupa keluhan nyeri kepala di daerah frontal dan oksipital yang timbul pada pagi hari dan malam hari, muntah proyektil dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan diketemukan papil udem. Keadaan ini perlu tindakan segera karena setiap saat dapat timbul ancaman herniasi. Selain itu dapat dijumpai parese N.VI akibat teregangnya N.VI oleh TTIK. Tumor-tumor yang sering memberikan gejala TTIK tanpa gejala-gejala fokal maupun lateralisasi adalah meduloblatoma, spendimoma dari ventrikel III, haemangioblastoma serebelum dan craniopharingioma c. Gejala terlokalisasi: • Lobus frontal  Menimbulkan gejala perubahan kepribadian  Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra lateral, kejang fokal  Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia  Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster kennedy  Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia • Lobus parietal  Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsihomonym  Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus angularis menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s • Lobus temporal  Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang didahului dengan aura atau halusinasi  Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia dan hemiparese  Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala choreoathetosis, parkinsonism. • Lobus oksipital  Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan  Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang menjadi hemianopsia, objeckagnosia • Tumor di ventrikel ke III  Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala menimbulkan obstruksi dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian tekanan intrakranial mendadak, pasen tiba-tiba nyeri kepala, penglihatan kabur, dan penurunan kesadaran • Tumor di cerebello pontin angie  Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma  Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa gangguan fungsi pendengaran  Gejala lain timbul bila tumor telah membesar dan keluar dari daerah pontin angel • Tumor Hipotalamus  Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe  Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan perkembangan seksuil pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan • Tumor di cerebellum  Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat terjadi disertai dengan papil udem  Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme dari otot-otot servikal • Tumor fosa posterior  Diketemukan gangguan berjalan, nyeri kepala dan muntah disertai dengan nystacmus, biasanya merupakan gejala awal dari medulloblastoma Secara umum, manifestasi klinik dari tumor otak diantaranya: • Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF) o Sakit kepala o Nausea atau muntah proyektil o Pusing o Perubahan mental o Kejang • Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) o Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema. o Perubahan bicara, misalnya: aphasia o Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik. o Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis. o Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan konstipasi. o Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness. o Perubahan dalam seksual 7. Pemerikasaan fisik Kepala: • Inspeksi: bentuk kepala, besar kepala • Palpasi: massa pada kepala Neurologis • Inspeksi : kejang, tinglah laku aneh, disorientasi, afasia, penurunan/ kehilangan memori, afek tidak sesuai Penglihatan • Inspeksi : penurunan ketajaman penglihatan, penurunan lapang pandang Mata • Inspeksi bentuk, ukuran dan refleks pupil terhadap cahaya • Inspeksi tatapan kedua mata konjugasi atau diskonjugasi Pendengaran • Inspeksi : tinitus, penurunan pendengaran, halusinasi Cardivaskuler • Bradikardi • Hipertensi Respirasi • Inspeksi : Takipnea, dispnea, potensial obstruksi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler ( hilangnya kontrol terhadap otot pernafasan). Abdomen: • Inpeksi: distensi abdomen • Auskultasi: bising usus • Palpasi: nyeri tekan pada perut 8. Pemerikasaan diagnostic/penunjang 1. Pencitraan CT : Memberikan informasi spesifik yang menyangkut jumlah, ukuran, dan kepadatan jejas tumor dan meluasnya edema serebral sekunder, dan memberi informasi tentang system ventrikuler. 2. MRI membantu dalam mendiagnosis tumor otak, mendeteksi jejas yang kecil, alat ini juga umumnya untuk membantu dalam mendeteksi tumor-tumor di dalam batang otak dan daerah hipofisis, dimana tulang mengganggu gambaran yang menggunakan CT. 3. Biopsi stereotaktik bantuan computer 3 dimensi dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan dasar-dasar pengobatan dan prognosis. 4. Angiografi serebral memberikan gambaran pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral. 5. Elektroensefalogram( EEG) dapat mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang. 6. Penelitian sitologis pada cairan serebrospinal ( CSF) dapat dilakukan untuk mendeteksi sel-sel ganas, karena tumor-tumor pada system saraf pusat mampu menggusur sel-sel ke dalam cairan serebrospinal. 9. Terapi/tindakan penanganan Tujuan: Mengangkat dan memusnahkan semua tumor atau banyak kemungkinan tanpa meningkatnya penurunan neurologik ( paralis, kebutaan) atau tercapainya gejala-gejala dengan mengankat sebagian ( dekompresi) 1. Pendekatan Pengobatan: Pengaturan kelainan kejang melalui pengaturan nutrisi 2. Pembedahan 3. Stereotaktik 4. Penggunaan pisau gamma 5. Kemoterapi 6. Terapi sinar radiasi eksternal 7. Transplantasi sum-sum tulang autolog intravena 8. Kortikosteroid Metode umum untuk penatalaksanaan tumor otak meliputi : •Pembedahan Pembedahan intracranial biasanya dilakukan untuk seluruh tipe kondisi patologi dari otak untuk mengurangi ICP dan mengangkat tumor. Pembedahan ini dilakukan melalui pembukaan tengkorak, yang disebut dengan Craniotomy. Perawatan pre operasi pada pasien yang dilakukan pembedahan intra cranial adalah: a) Mengkaji keadaan neurologi dan psikologi pasien b) Memberi dukungan pasien dan keluarga untuk mengurangi perasaan-perasaan takut yang dialami. c) Memberitahu prosedur tindakan yang akan dilakukan untuk meyakinkan pasien dan mengurangi perasaan takut. d) Menyiapkan lokasi pembedahan, yaitu: kepala dengan menggunakan shampo antiseptik dan mencukur daerah kepala. e) Menyiapkan keluarga untuk penampilan pasien yang dilakukan pembedahan, meliputi :  Balutan kepala  Edema dan ecchymosis yang biasanya terjadi dimuka  Menurunnya status mental sementara Perawatan post operasi, meliputi : a) Mengkaji status neurologi dan tanda-tanda vital setiap 30 menit untuk 4 – 6 jam pertama setelah pembedahan dan kemudian setiap jam. Jika kondisi stabil pada 24 jam frekuensi pemeriksaan dapat diturunkan setiap 2 samapai 4 jam sekali. b) Monitor adanya cardiac arrhytmia pada pembedahan fossa posterior akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit c) Monitor intake dan output cairan pasien. Batasi intake cairan sekitar 1.500 cc / hari. d) Lakukan latihan ROM untuk semua ekstremitas setiap pergantian dinas. e) Pasien dapat dibantu untuk alih posisi, batuk dan napas dalam setiap 2 jam. f) Posisi kepala dapat ditinggikan 30 -35 derajat untuk meningkatkan aliran balik dari kepala. Hindari fleksi posisi panggul dan leher. g) Cek sesering mungkin balutan kepala dan drainage cairan yang keluar. h) Lakukan pemeriksaan laboratorium secara rutin, seperti : pemeriksaan darah lengkap, serum elektroit dan osmolaritas, PT, PTT, analisa gas darah. i) Memberikan obat-obatan sebagaimana program, misalnya : antikonvulsi,antasida, atau antihistamin reseptor, kortikosteroid. j) Melakukan tindakan pencegahan terhadap komplikasi post operasi. •Radioterapi •Chemoterapi Pemilihan terapi ditentukan dengan tipe dan letak dari tumor. Suatu kombinasi metode sering dilakukan. 10. Komplikasi Komplikasi post operasi 1. Edema cerebral 2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral 3. Hypovolemik syok 4. Hydrocephalus 5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus) 6. Infeksi luka operasi. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data Subyektif 1. Pemahaman pasien tentang penyakitnya 2. Perubahan dalam individu atau pertimbangan 3. Adanya ketidakmampuan sensasi ( parathesia atau anasthesia) 4. Masalah penglihatan (hilangnya ketajaman atau diplopia) 5. Mengeluh bau yang tidak biasanya (sering tumor otak pada lobus temporale) 6. Adanya sakit kepala 7. Ketidakmampaun dalam aktifitas sehari-hari. Data Obyektif 1. Kekuatan pergerakan 2. Berjalan 3. Tingkat kewaspadaan dan kesadaran 4. Orientasi 5. Pupil : ukuran, kesamaan, dan reaksi 6. Tanda-tanda vital 7. Pemeriksaan funduscopy untuk mengetahui papilaedema 8. Adanya kejang 9. Ketidaknormalan berbicara 10. Ketidaknormalan saraf-saraf kranial 11. Gejala-gejala peningkatan tekanan intracranial 2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul 1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan hipoksia jaringan 2. Nyeri kronis berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial 3. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan lapang pandang dan ketajaman penglihatan, kejang, dan gangguan kesadaran 4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neurologis 5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah 6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan bicara tertanggu, berdesis, afasia 7. Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan tindakan operasi 3. Rencana keperawatan 1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan hipoksia jaringan Tujuan:  Klien menunjukkan tingkat perbaikan kesadaran, kognisi, dan motorik sendiri  Klien memperlihatkan kestabilan tanda-tanda vital dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK Intervensi:  Pantau neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar Rasional: Mengkaji adanya tingakat kecendrungan pada tingat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP  Pantau tekanan darah Rasional: peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastolic merupakan tanda terjadinya peningakatan TIK  Catat ada/tidaknya reflek-refleks tertentu seperti reflex menelan, batuk babinski, dll) Rasional: Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingakt otak tengah atau batang otak  Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/netral, sokong dengan gulungan handuk kecil/bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar Rasional: Kepala yang miring pada salah satu sisi akan menekan vena jugularis dan mangehambat aliran darah vena, yang selanjtnya akan meningkatkan TIK 2. Nyeri kronis berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial Tujuan:  Klien/keluarga mengatakan nyeri hilang  Klien menunjukkan keadaan rileks/tenang dan mampu beristirahat/todur dengan tepat Intervensi:  Teliti keluhan nyeri: intensitas, karakteristik, lokasi, lamanya, faktor yang memperburuk dan meredakan. Rasional : Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.  Berikan lingkungan yang tenang, agak gelap sesuai dengan indikasi Rasional: menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar dan meningkatakan istirahat  Tingkatkan tirah baring Rasional: menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri  Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal seperti ekspresi wajah, gelisah, menangis/meringis, perubahan tanda vital. Rasional : Merupakan indikator/derajat nyeri yang tidak langsung yang dialami.  Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, seperti kepala agak tinggi sedikit Rasional: menurunkan iritasi menigeal, resultan ketidaknyamanan lebih lanjut 3. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan lapang pandang dan ketajaman penglihatan, kejang, dan penurunan kesadaran Tujuan:  Klien tidak mengalami cedera  Klien terbebas dari rasa takut akan cedera Intervensi:  Orientasikan klien baru terhadap lingkungan sekitar Rasional: pengenalan terhadap lingkungan meminimalkan risiko cedera  Awasi klien secara ketat selama beberapa malam pertama Rasional: untuk mengkaji keamanan  Pertahankan tempat tidur pada ketinggian paling rendah selama malam hari Rasional: menghindari kecelakaaan pada malam hari 4. Kerusakaan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neurologis Tujuan:  Klien mampu melakukan pergerakan/ mobilitas fisik dengan baik  Otot-otot klien dapat berkontraksi dengan baik Intervensi:  Lakukan ambulasi ROM secara rutin Rasional: Melatih pergerakan otot-otot klien  Ajarkan klien untuk beraktivitas secara bertahap Rasional: Memulihkan kemampuan klien untuk beraktivitas  Mengubah posisi klien setiap 2 jam Rasional: melatih pergerkan klien dan menghindari risiko dekubitus 5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah Tujuan:  Nafsu makan klien kembali normal  Klien tidak mengalami penurunan berat badan  Klien tidak mengalami mual, muntah Intervensi:  Ajarkan klien dan keluarga mengenai posisi nyaman saat makan Rasional: posisi yang nyaman membentu klien untuk menguarngi perasaan mual dan muntah  Beritahu waktu makan yang tepat (saat nyeri hilang, saat pasien tenang) Rasional: Perasaan yang tenang membantu meningkatkan nafsu makan  Anjurkan pada orang tua untuk mengistirahatkan anak sebelum makan Rasional: Memulihakan kemampuan lambung dan menghindarkan reflex muntah  Pertahankan kondisi mulut klien sebelum dan sesudah makan Rasional: Oral hygiene yang buruk dan memepegaruhi nafsu makan  Anjurkan klien untuk mengonsumsi makanan kering (biscuit, crakers) Rasional: Makanan kering dapar mengurangi rasa mual yang dirasakan  Anjurkan pada orang tua untuk menyediakan makanan kesukaan klien Rasional: Makanan kesukaaan dapat merangsang nafsu makan klien 6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan bicara tertanggu, berdesis, dan afasia Tujuan:  Klien mampu mengikuti aba-aba verbal  Klien berespon jika diajak berkomunikasi Intervensi:  Anjurkan kepada keluarga klien/ ajak klien berkomunikasi dengan mengggunakan kata-kata yang sederhana, dan dengan suara yang keras dan lambat Rasional: mempermudah klien untuk mengerti dengan komunikasi yang dimaksud  Ajarkan pada klien untuk berkomunikasi atau berespon dengan menggunakan bahasa tubuh Rasional: Membiasakan klien untuk berespon terhadap komunikasi  Pertahankan komunikasi dengan klien Rasional: agar klien terbiasa diajak berkomunikasi 7. Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan tindakan operasi Tujuan:  Klien dan keluarga paham tentang penyakitnya  Klien dan keluarga tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya dan mengikuti prosedur pengobatan Intervensi Intervensi :  Berikan penjelasan mengenai penyakit pengobatan secara jelas kepada klien dan keluarga Rasional: pemahaman tentang penyakit dan pengobtan dapat membantu mengontrol perasaan klien dan keluarga  Datangkan keluarga, rohaniawan dan tenaga kesehatan professional Rasional: memberikan dukungan terhadap klien dan keluarga  Dampingi klien dan keluarga untuk membicarakan dan mengkomunikasikan rasa takut dan kekhawatiran mereka Rasional: Komunikasi terbuka dan menerima rasa takut klien dan keluarga merupakan terapi yang ampuh buntuk mengurangi kecemasan mereka 8. Evaluasi Hal-hal yang perlu dievaluasi • Skala nyeri yang dirasakan klien • Perbaikan perfusi jaringan cerebral  Peningkatan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang  Dapat mengikuti aba-aba secara verbal, menjawab pertanyaan dengan benar • Kemampuan eliminasi dan defekasi • Kemampuan mobilitas fisik klien • Proses berpikir klien DAFTAR PUSTAKA 1. Doenges, E Marylin. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC 2. Engram, Barbara (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC 3. Reeves C, J. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika 4. Suddart, Brunner (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC 5. Ganong, WF. (1996). Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Jumat, 16 November 2012

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN POST PARTUM (NIFAS)


LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN POST PARTUM (NIFAS)

A.     KONSEP DASAR PENYAKIT
1.      Definisi
       Masa nifas atau puerperium adalah dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu (Hadijono,2008:356)
       Periode pascapartum (puerperium) ialah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil (Bobak,2004:492)
       Post partum (nifas) secara harafiah adalah sebagai masa persalinan dan segera setelah kelahiran, masa pada waktu saluran reproduktif kembali ke keadaan semula (tidak hamil). (William,1995)
       Puerperium / nifas adalah masa sesudah persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhirnya ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ± 6 minggu (Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,2002)
 












      Gambar 1. Ibu pada masa nifas

2.      Klasifikasi
      Masa nifas dibagi dalam 3 periode yaitu :
a.       Puerperium dini adalah kondisi kepulihan dimana seorang ibu sudah diperbolehkan berdiri dan berjalan
b.      Puerperium Intermedial adalah kondisi kepulihan organ genital secara menyeluruh dengan lama ± 6-8 minggu
c.       Remote Puerperium waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila saat hamil atau waktu persalinan mengalami komplikasi. Waktu yang diperlukan untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan ataupun tahunan.

3.      Gejala Klinis (Fisiologi Nifas)
      Pada masa puerperium atau nifas tampak perubahan dari alat – alat / organ reproduksi yaitu :
a.       Sistem Reproduksi
1)      Uterus
Secara berangsur-angsur, kondisi uterus akan membaik dengan pengecilan ukuran (involusi) dari uterus itu sendiri. Adapun tinggi fundus uteri (TFU) post partum menurut masa involusi :
   Tabel 1. TFU menurut masa involusi
INVOLUSI
TFU
BERAT UTERUS
Bayi lahir
Setinggi pusat
1000 gram
Placenta lahir
± 2 cm di bawah umbilicus dengan bagian fundus bersandar pada promontorium sakralis
± 1000 gram
1 minggu
Pertengahan  antara umbilikus dan simfisis pubis
500 gram
2 minggu
Tidak teraba di atas simfisis
350 gram
6 minggu
Bertambah kecil
50-60 gram
                                                                                                 (Bobak,2004:493)
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir. Selama 1 samapi 2 jam pertama pascapartum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Karena penting sekali untuk mempertahankan kontraksi uterus selama masa ini, biasanya suntikan oksitosin secara IV atau IM diberikan segera setelah plasenta lahir. Ibu yang merencanakan menyusui bayinya dianjurkan membiarkan bayinya di payudara segera setelah lahir karena isapan bayi pada payudara merangsang pelepasan oksitosin.
2)        Vagina dan Perineum
Pada post partum terdapat lochia yaitu cairan/sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina. Macam – macam lochia :
a)    Lochia rubra: berisi darah segar dan sisa – sisa selaput ketuban, terjadi selama 2 hari pasca persalinan
b)   Lochia Sanguinolenta: berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, terjadi hari ke 3 – 7 pasca persalinan
c)    Lochia serosa: Keluar cairan tidak berisi darah berwarna kuning. Terjadi hari ke 7 – 14 hari pasca persalinan
d)   Lochia alba: Cairan putih setelah 2 minggu pasca persalinan
Pada awalnya, introitus mengalami eritematosa dan edematosa, terutama pada daerah episiotomi atau jahitan laserasi. Proses penyembuhan luka episiotomi sama dengan luka operasi lain. Tanda-tanda infeksi (nyeri, merah, panas, bengkak, atau rabas) atau tepian insisi tidak saling melekat bisa terjadi. Penyembuhan harus berlangsung dalam dua sampai tiga minggu. Hemoroid biasanya akan terlihat pada ibu yang memiliki riwayat hemoroid dan karena mengedan terlalu kuat.
3)        Payudara
Pada masa nifas akan timbul masa laktasi akibat pengaruh hormon laktogen (prolaktin) terhadap kelenjar payudara. Kolostrum diproduksi mulai di akhir masa kehamilan sampai hari ke 3-5 post partum dimana kolostrum mengandung lebih banyak protein dan mineral tetapi gula dan lemak lebih sedikit. Produksi ASI akan meningkat saat bayi menetek pada ibunya karena menetek merupakan suatu rangsangan terhadap peningkatan produksi ASI. Makin sering menetek, maka ASI akan makin banyak diproduksi. Perubahan yang terjadi pada payudara meliputi :
a)    Proliferasi jaringan kelenjar mamma dan lemak
b)   Pengeluaran kolustrum yang berwarna kuning, mengandung banyak protein albumin dan globulin yang baik untuk meningkatkan sistem imunitasi bayi
c)    Hipervaskularisasi pada permukaan dan bagian dalam mamma

b.      Sistem Pencernaan
1)      Nafsu Makan
      Ibu biasanya lapar segera melahirkan, sehingga ia boleh mengkonsumsi makan ringan. Setelah benar-benar pulih analgesia, anesthesia, dan keletihan, kebanyakan ibu merasa sangat lapar. Permintaan untuk memperoleh makanan dua kali dari jumlah biasa dikonsumsi diserta konsumsi camilan yang sering ditemukan.
2)   Motilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selama
waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan ansthesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal.
3)      Defekasi
      Buang air besar secara spontan bisa tertunda selama dua sampai tiga hari setelah ibu melahirkan. Keadaan ini bisa disebabkan karena tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan pada awal masa pascapartum, diare sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang makan, atau dehidrasi. Ibu sering kali sudah menduga nyeri saat defeksi karena nyeri yang dirasakannya diperineum akibat episiotomi, laserasi, hemorid. Kebiasan buang air yang teratur perlu dicapai kembali setelah tonus usus kembali normal.
c.       Sistem Perkemihan
1)      Uretra dan kandung kemih
      Trauma bisa terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses melahirkan, yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir. Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemis dan edema, seringkali diserti daerah-daerah kecil hemoragi. Pengambilan urine dengan cara bersih atau melalui kateter sering menunjukkan adaya trauma pada kandung kemih. Uretra dan meatus urinarius bisa juga mengalami edema.
      Kombinasi trauma akibat kelahiran, peningkatan kapasitas kandung kemih setelah bayi lahir dan efek konduksi anastesi menyebabkan keinginan untuk berkemih menurun. Selain itu rasa nyeri pada panggul yang timbul akibat dorongan saat melahirkan, laserasi vagina, atau episiotomi penurunan atau mengubah reflex berkemih, penurunan berkemih, seiring diuresis pascapartum, bisa menyebabkan distensi kandung kemih. Distensi kandung kemih yang muncul segera setelah wanita melahirkan dpat menyebabkan pendarahan berlebih karena keadaan ini bisa menghambat uterus berkontraksi dengan baik. Tonus kandung kemih biasanya akan pulih kembali dalam 5 sampai 7 hari setelah bayi lahir.

d.      Sistem Integumen
      Hiperpigmentasi di areola dan linea nigra tidak menghilang seluruhnya setelah bayi lahir. Kulit yang meregang pada payudara,abdomen, paha, dan panggul mungkin memudar tetapi tidak hilang seluruhnya. Kelainan pembuluh dara seperti spider angioma (nevi), eritema palmar biasanya berkurang sebagai respon terhadap penurunan kadar estrogen setelah kehamilan berakhir. Diaforesis adalah perubahan yang paling jelas terlihat pada sistem integumen.


4.      Patofisiologi (WOC)


















5.      Pemeriksaan penunjang
a.       Darah lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, trombosit )
b.        Urine lengkap

6.      Komplikasi
a.         Pembengkakan payudara
b.        Mastitis (peradangan pada payudara)
c.         Endometritis (peradangan pada endometrium)
d.        Post partum blues
e.         Infeksi puerperalis ditandai dengan pembengkakan, rasa nyeri, kemerahan pada jaringan terinfeksi atau pengeluran cairan berbau dari jalan lahir selam persalinan atau sesudah persalinan.

7.      Penatalaksanaan Medis
a.       Observasi ketat 2 jam post partum (adanya komplikasi perdarahan)
b.      6-8 jam pasca persalinan : istirahat dan tidur tenang, usahakan miring kanan kiri
c.       Hari ke- 1-2 : memberikan KIE kebersihan diri, cara menyusui yang benar dan perawatan payudara, perubahan-perubahan yang terjadi pada masa nifas, pemberian informasi tentang senam nifas.
d.      Hari ke- 2 : mulai latihan duduk
e.       Hari ke- 3 : diperkenankan latihan berdiri dan berjalan

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.        Pengkajian
a.         Identitas
         Meliputi identitas klien, yang terdiri dari nama, umur, alamat, status perkawinan. Terdapat juga identitas penanggung, misal suami.
b.      Status Kesehatan Saat Ini
Meliputi keluhan saat MRS dan keluhan utama saat ini.

c.         Riwayat Obstetri
Meliputi riwayat menstruasi, riwayat kehamilan, persalinan, nifas yang lalu
d.        Riwayat Persalinan dan Kelahiran Saat Ini
Meliputi :
1)        Tipe persalinan
2)        Lama persalinan (kala I, kala II, kala III, kala IV)
3)        Penggunaan analgesik dan anastesi
4)        Apakah terdapat masalah dalam persalinan.
5)        Kesanggupan dan pengetahuan dalam perawatan bayi, seperti breast care, perineal care, nutrisi, senam nifas, KB, menyusui
e.         Keadaan Bayi
Meliputi BB, PB, apakah ada kelainan atau tidak.
f.         Riwayat Keluarga Berencana
Apakah klien melaksanakan KB
1)        Bila ya, jenis kontrasepsi apa yang digunakan.
2)        Sudah berapa lama menggunakan kontrasepsi.
3)        Apakah terdapat masalah dalam penggunaan kontrasepsi.
g.        Riwayat Kesehatan
1)        Penyakit yang pernah dialami klien.
2)        Pengobatan yang pernah didapat.
3)        Apakah ada riwayat penyakit keluarga seperti penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit hipertensi.
h.        Kebutuhan Dasar Khusus
1)        Pola nutrisi.
       Nafsu makan meningkat, Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.
2)        Pola eliminasi/sistem urogenital.
a)        Konstipasi, tidak mampu berkemih, retensi urine.
b)        Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.
c)        Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.
d)       Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.
3)        Pola personal hygiene.
Bagaimana frekuensi personal hygiene klien, seperti mandi, oral hygiene, maupun cusi rambut.
4)        Pola istirahat dan tidur.
       Kurang tidur, mengantuk.
5)        Pola aktivitas dan latihan.
       Terganggu karena nyeri.
6)        Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
       Apakah klien merokok, minum-minuman keras, ataupun ketergantungan obat.
7)        Seksualitas/reproduksi
       Ketakutan melakukan hubungan seksual karena nyeri.
8)        Peran
       Perubahan peran sebagai ibu.
9)        Persepsi diri/konsep diri
       Penilaian citra tubuh terganggu.
10)    Kognitif perceptual
       Kurang pengetahuan tentang perawatan bayi, ibu post partum.

i.          Pemeriksaan Fisik
1)        Keadaan Umum
a)        GCS                                              
b)        Tingkat Kesadaran                      
c)        Tanda-Tanda Vital
(1)     Jam I              :  tiap 15 menit
(2)     Jam II             :  tiap 30 menit
(3)     24 jam I          :  tiap 4 jam
(4)     Setelah 24 jam : tiap 8 jam
d)       Berat Badan
e)        Tinggi Badan


2)        Head to toe
(a)      Kepala
Memeriksa apakah terjadi edema pada wajah.
(b)     Wajah
Memeriksa apakah konjungtiva pucat, apakah skelera ikterus
(c)      Leher
(1)     Hiperpigmentasi perlahan berkurang.
(2)     Memeriksa dan meraba leher untuk mengetahui apakah kelejar tiroid membesar, pembuluh limfe, pelebaran vena jugularis.
(d)     Thorak
(1)     Payudara
(a)      Terdapat perubahan payudara, payudara membesar. Putting mudah erektil.
(b)     Pruduksi colostrums 48 jam.
(c)      Memeriksa pada payudara jika terdapat massa, atau pembesaran pembuluh limfe.
(2)     Jantung
(a)      Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum terjadi bradikardi.
(b)     Volume darah
Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu
(3)     Paru
Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.
(4)     Abdomen
(a)      Memeriksa bising usus pada empat kuadran.
(b)     Memeriksa fundus uteri, konsistensi, kekuatan kontraksi, posisi, tinggi fundus.
(c)      Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil. Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.
(d)     Terdapat linea gravidarum, strie alba, albican.
(5)     Genetalia
(a)      Uterus
Memeriksa apakah kondisi uterus sudah kembali dalam kondisi normal.
(b)     Lochea
Memeriksa lochea : tipe, jumlah, bau.
Komposisi : Jaringan endometrial, darah, limfe.
 i.          Tahap
i)        Rubra (merah) : 1-3 hari.
ii)        Serosa (pink kecoklatan)
iii)      Alba (kuning-putih) : 10-14 hari
ii.          Lochea terus keluar sampai 3 minggu
iii.      Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.
iv.      Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.
(c)      Serviks
       Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.
(d)     Vagina
       Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.
(e)      Perinium dan Anus
       Pemeriksaan perineum : REEDA (red, edema, ecchymosis, discharge, loss of approximation)
(f)      Pemeriksaan adanya hemoroid.
(6)     Ekstremitas
(a)      Memeriksa apakah tangan dan kaki edema, pucat pada kuku jari, hangat, adanya nyeri dan kemerahan.
(b)     Apakah ada varises.
(c)      Memeriksa refleks patella untuk mengetahui apakah terjadi hypo atau hyper.
(d)     Memeriksa homans’ sign (nyeri saat kaki dorsofleksi pasif).

3)        Perubahan Psikologis
a)        Peran Ibu meliputi:
       Kondisi Ibu, kondisi bayi, faktor sosial-ekonomi, faktor keluarga, usia ibu, konflik peran.
b)        Baby Blues:
Mulai terjadinya, adakah anxietas, marah, respon depresi dan psikosis.
c)        Perubahan Psikologis
Perubahan peran, sebagai orang tua.
 i.          Attachment yang mempengaruhi dari faktor ibu, ayah dan bayi.
ii.          Baby Blues merupakan gangguan perasaan yang menetap, biasanya pada hari III dimungkinkan karena turunnya hormon estrogen dan pergeseran yang mempengaruhi emosi ibu.
(d)     Faktor-faktor Risiko
 i.          Duerdistensi uterus
ii.          Persalinan yang lama
iii.          Episiotomi/laserasi
iv.          Ruptur membran premature
v.          Kala II persalinan
vi.          Plasenta tertahan
vii.          Breast feeding

2.        Diagnosa Keperawatan
a.         Risiko defisit volume cairan b/d pengeluaran yang berlebihan; perdarahan; diuresis; keringat berlebihan.
b.        Perubahan pola eleminasi BAK (disuria) b/d trauma perineum dan saluran kemih.
c.         Perubahan pola eleminasi BAB (konstipasi) b/d kurangnya mobilisasi; diet yang tidak seimbang; trauma persalinan.
d.        Nyeri akut b/d peregangan perineum; luka episiotomi; involusi uteri; hemoroid; pembengkakan payudara.
e.         Risiko infeksi b/d trauma jalan lahir.
f.         Risiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
g.        Gangguan pemenuhan ADL b/d kelemahan; kelelahan post partum.

3.        Perencanaan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Rencana Intervensi
Rasional
Resiko defisit volume cairan b/d pengeluaran yang berlebihan; perdarahan; diuresis; keringat berlebihan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam, diharapkan kebutuhan cairan pasien adekuat, dengan kriteria hasil:
-          TTV dalam batas normal
·      TD : 60-90/110-140 mmHg
·      Nadi : 60-100 x/menit
·      Suhu : 36,5-37,5oC
·      RR : 16-24 x/menit
-          Tidak ada tanda-tanda  dehidrasi (mukosa bibir lembab, turgor kulit baik)
-          Haluaran urine 0,5-1 ml/kg BB/jam

-          Pantau:
-     Tanda-tanda vital setiap 4 jam.






-          Pantau cairan masuk dan cairan keluar setiap 8 jam.

-          Observasi ketat 2 jam post partum (adanya komplikasi perdarahan)





-          Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi (mukosa bibir dan turgor kulit)
-          Beritahu dokter bila: terjadi takikardia, selalu merasa haus, gelisah, TD di bawah rentang normal, urine gelap atau encer gelap.

-          Mengidentifikasi keadaan umum pasien serta adanya penyimpangan indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
-          Mengidentifikasi keseimbangan cairan pasien secara adekuat dan teratur.
-          Observasi baik dilakukan untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak diinginkan seperti adanya perdarahan post partum
-          Sebagai deteksi awal dari kekurangan cairan


-          Temuan-temuan ini menandakan hipovolemia dan perlunya peningkatan cairan.


Perubahan pola eleminasi BAK (disuria) b/d trauma perineum dan saluran kemih.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola eleminasi (BAK) pasien teratur, dengan criteria hasil:
-          Eleminasi BAK lancar (warna, kejernihan, volume urine yang keluar dalam batas normal )
-          Tidak ada disuria
-          Keluhan kencing tidak ada.

-          Kaji haluaran urine, keluhan serta keteraturan pola berkemih.

-          Anjurkan pasien melakukan ambulasi dini.



-          Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat sebelum berkemih.

-          Anjurkan pasien untuk berkemih secara teratur.




-          Anjurkan pasien untuk minum 2500-3000 ml/24 jam.




-          Tanyakan pada pasien mengenai adanya keluhan dalam berkemih

-          Kolaborasi untuk melakukan kateterisasi bila pasien kesulitan berkemih.
-          Mengidentifikasi penyimpangan dalam pola berkemih pasien.

-          Ambulasi dini memberikan rangsangan untuk pengeluaran urine dan pengosongan bladder.
-          Membasahi bladder dengan air hangat dapat mengurangi ketegangan akibat adanya luka pada bladder.
-          Menerapkan pola berkemih secara teratur akan melatih pengosongan bladder secara teratur.
-          Minum banyak mempercepat filtrasi pada glomerolus dan mempercepat pengeluaran urine


-          .Untuk menetapkan intervensi keperawatan yang tepat bagi pasien
-          Kateterisasi membantu pengeluaran urine untuk mencegah stasis urine.
Perubahan pola eleminasi BAB (konstipasi) b/d kurangnya mobilisasi; diet yang tidak seimbang; trauma persalinan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan pola eleminasi (BAB) pasien teratur, dengan criteria hasil :
-          Pola eleminasi teratur (tidak adanya konstipasi)
-          Feses lunak dan warna khas feses (tidak bercampur darah dan lendir)
-          Bau khas feses
-           Tidak ada kesulitan/keluhan  BAB

-          Kaji pola dan frekuensi BAB, kesulitan BAB, warna, bau, dan konsistensi feses serta keluhan dalam melakukan BAB
-          Anjurkan ambulasi dini. Hari ke- 2 : mulai latihan duduk, Hari ke- 3 : diperkenankan latihan berdiri dan berjalan
-          Anjurkan pasien untuk minum banyak 2500-3000 ml/24 jam.



-          Kaji bising usus setiap 8 jam.




-          Pantau berat badan setiap hari.




-          Anjurkan pasien makan banyak serat seperti buah-buahan dan sayur-sayuran hijau.
-          Mengidentifikasi penyimpangan serta kemajuan dalam pola eleminasi (BAB).
-          Ambulasi dini merangsang pengosongan rektum secara lebih cepat.



-          Cairan dalam jumlah cukup mencegah terjadinya penyerapan cairan dalam rektum yang dapat menyebabkan feses menjadi keras.
-          Bising usus mengidentifikasikan pencernaan dalam kondisi baik.

-          Mengidentifiakis adanya penurunan BB secara dini dan mengetahui status nutrisi pasien.
-          Memperlancar BAB dan mencegah konstipasi
Gangguan pemenuhan ADL b/d immobilisasi; kelemahan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan ADL dan kebutuhan beraktifitas pasien terpenuhi secara adekuat, dengan kriteria hasil:
-          Pasien menunjukkan peningkatan dalam beraktifitas.
-          Kelemahan dan kelelahan berkurang.
-          Kebutuhan ADL terpenuhi secara mandiri atau dengan bantuan.
-          Frekuensi nadi / irama jantung serta tekanan darah dalam batas normal (TD=100-140/60-90 mmHg, N=60-100 x/menit)

-          Kaji toleransi pasien terhadap aktifitas menggunakan parameter berikut: catat peningakatan TD, dispnea, nyeri dada, kelelahan berat, kelemahan, berkeringat, pusing atau pingsan.
-          Tingkatkan istirahat, batasi aktifitas pada dasar nyeri/respon hemodinamik
-          Berikan aktifitas senggang yang tidak berat.




-          Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktifitas, contoh: penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktifitas dan perawatan diri.

-          Dorong memajukan aktifitas/toleransi perawatan diri.







-          Anjurkan keluarga untuk membantu pemenuhan kebutuhan ADL pasien.

-          Parameter menunjukkan respon fisiologis pasien terhadap stres aktifitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja jantung.




-          Menurunkan kerja miokard/komsumsi oksigen , menurunkan resiko komplikasi.

-          Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk menunjukkan tingkat aktifitas individu.
-          Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktifitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
-          Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
-          Aktifitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningaktkan regangan dan mencegah aktifitas berlebihan.
Nyeri akut b/d peregangan perineum; luka episiotomi; involusi uteri; hemoroid; pembengkakan payudara.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama  3x24jam ,diharapkan   nyeri pasien berkurang, dengan kriteria hasil:
-          TTV dalam batas normal
·      TD : 60-90/110-140 mmHg
·      Nadi : 60-100 x/menit
·      Suhu : 36,5-37,5oC
·      RR : 16-24 x/menit
-          Pasien mengatakan nyeri berkurang
-          Skala nyeri berkurang
-          Pasien tampak rileks, ekspresi wajah tidak tegang.
-          Kontraksi uterus baik
-          Payudara lembek
-          Tidak ada bendungan ASI.
-          Kaji karakteristik nyeri (PQRST)





-          Pantau TTV


-          Kaji kontraksi uterus, proses involusi uteri.


-          Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat sebelum berkemih.
-          Anjurkan dan latih pasien cara merawat payudara secara teratur.
-          Jelaskan pada ibu tetang teknik merawat luka perineum
-          Ajarkan klien teknik relaksasi dan distraksi (teknik napas panjang dan dalam, mengalihkan perhatian).
-          Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian analgesik


-          Mengetahui karakteristik nyeri pasien untuk mengidentifikasi dalam pemberian intervensi yang tepat
-          Mengidentifikasi keadaan umum pasien
-          Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan berdasarkan involusi uteri.
-          Mengurangi ketegangan pada luka perineum.



-          Melatih ibu mengurangi bendungan ASI dan memperlancar pengeluaran ASI.
-          Mencegah infeksi dan kontrol nyeri pada luka perineum.
-          Mengurangi intensitas nyeri pada pasien





-          Merupakan salah satu management nyeri untuk pasien
Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam ,diharapkan   tidak terjadi tanda-tanda infeksi, dengan criteria hasil :
-          Tidak ada tanda infeksi (calor, rubor, dolor, tumor, fungsiolaesa )
-          Luka episiotomi kering dan bersih
-          TTV dalam batas normal
·      TD : 60-90/110-140 mmHg
·      Nadi : 60-100 x/menit
·      Suhu : 36,5-37,5oC
·      RR : 16-24 x/menit

-          Pantau TTV dan tanda-tanda infeksi


-          Kaji luka perineum/episiotomy, kaji  keadaan jahitan.

-          Anjurkan pasien membasuh vulva setiap habis berkemih dengan cara yang benar






-          Pertahankan teknik septik aseptik dalam merawat pasien (merawat luka perineum, merawat payudara, merawat bayi).




-          Mengetahui keadaan umum pasien dan adanya tanda-tanda infeksi
-          Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan sesuai intervensi yang dilakukan.
-          Keadaan luka perineum berdekatan dengan daerah basah mengakibatkan kecenderunagn luka untuk selalu kotor dan mudah terkena infeksi.

-          Mencegah infeksi secara dini dan mencegah kontaminasi silang terhadap infeksi.
Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam ,diharapkan   tidak terjadi Gangguan proses parenting, dengan kriteria hasil:
-           Ibu dapat merawat bayi secara mandiri (memandikan, menyusui).
-          Keluarga ikut berperan aktif dalam perawatan ibu dan bayi
-          Ibu mampu melakukan dan sadar akan pentingnya perwatan dan kebersihan diri
-          Beri kesempatan ibu untuk melakukan perawatan bayi secara mandiri.
-          Libatkan suami dalam perawatan bayi.





-          Memberikan KIE kebersihan diri, cara menyusui yang benar dan perawatan payudara, perubahan-perubahan yang terjadi pada masa nifas, pemberian informasi tentang senam nifas.
-          Motivasi ibu untuk meningkatkan intake cairan dan diet TKTP.
-          Lakukan rawat gabung sesegera mungkin bila tidak terdapat komplikasi pada ibu atau bayi.
-          Meningkatkan kemandirian ibu dalam perawatan bayi.

-          Keterlibatan bapak/suami dalam perawatan bayi akan membantu meningkatkan keterikatan batih ibu dengan bayi.
-          Perawatan payudara secara teratur akan mempertahankan produksi ASI secara kontinyu sehingga kebutuhan bayi akan ASI tercukupi.


-          Meningkatkan produksi ASI.



-          Meningkatkan hubungan ibu dan bayi sedini mungkin.

d.         Evaluasi
Evaluasi dibuat berdasarkan tujuan dan kriteria hasil dalam intervensi keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

1.  Bobak, 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Edisi 4. Jakarta : EGC
2.   Doengoes, E. Marilyn. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi Edisi 2. Jakarta: EGC
3.   Hadijono, Soerjo. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta:Bina Pustaka