Daftar Blog Saya

Kamis, 23 September 2010

askep epilepsi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EPILEPSI
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
 Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-ulang. Diagnosa ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
 Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.
 Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
 Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

2. Epidemiologi
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang.

3. Penyebab
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
o Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
o Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
o Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
o Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
o Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
o Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
o Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
o Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah

2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:
• fever / panas (these are called febrile seizures)
• genetic causes
• head injury / luka di kepala.
• infections of the brain and its coverings
• lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses kelahiran.
• hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain cavities)
• disorders of brain development / gangguan perkembangan otak. (Tarwoto, 2007)

4. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
o Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
o Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
o Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
o Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

5. Klasifikasi
Ada dua golongan utama epilepsi yaitu serangan parsial atau fokalyang mulai pada suatu tempat tertentu di otak, biasanya di daerah korteks serebri ; dan serangan umum yang agaknya mencakup seluruh korteks serebri dan diensefalon (Price, 1995)
a. Kejang umum, kejang grand mal ditandai oleh empat fase:
1. Fase aura- seseorang mengalami berbagai sensai sebelum kejadian kejang kronik. Sensasi ini merupakan tanda akan datangnya kejang. Sensasi mungkin merupakan penciuman, pusing, cahaya, rasa tertentu, baal atau getaran pada tangan.
2. Fase tonik-ditandai oleh hilangnya kesadaran, jeritan (suara bernada tinggi disebabkan lewatnya udara melalui laring yang menutup disertai kontraksi maksimal otot-otot dada dan perut), tubuh kaku karena kontraksi tiba-tiba dari seluruh otot volunteer ( tangan fleksi, kaki ekstensi dan gigi rapat).
3. Fase klonik-ditandai oleh gerakan-gerakan kejang agitasi seluruh tubuh karena pergantian relaksasi dan kontraksi yang cepat dari seluruh otot volunteer. Pernapasan terhenti dan terjadi sianosis. Mungkin disertai mulut berbusa karena banyaknya saliva yang mungkin berwarna merah bila terjadi pendarahan karena tergigitnya lidah.
4. Fase pemulihan atau postiktal-ditandai oleh nerhentinya gerakan-gerakan kejang. Individu tidak sadar. Kesadaran dan semua gerakan volunteer perlahan kembali. Kebingungan, agitasi dan peka rangsang mungkin muncul. Individu akan merasa lelah. Mungkin mengalami inkontinensia urine. Individu jua lupa akan kejang yang dialaminya.
Kejang petit-mal(juga disebut takada kejang) ditandai hilangnyakesadaran singkat yang terjadi tiba-tiba tanpa disertai hilangnya tonus otot. Selama serangan, mungkin muncul lip smaking, pandangan kosong dan lurus ke depan, atau kelopak mata berkedip secara ritmis.
b. Kejang fokal atau parsial
Kejang fokal sederhana ditandai dengan kejang pada bagian tubuh tertentu merupakan tempat dimana konduksi neural abnormal terjadi goncangan pada satu sisi wajah meluas kepada otot-otot tubuh pada sisi yangt sama. Gejala somatosensori bisa terjadi misalnya kesemutan, rasa logam, halusinasi visual; gejala otonom juga dapat terjadi seperti mual, berkeringat, individu tidak mengalami kehilangan kesadaran.
Kejang fokal kompleks ditandai oleh adanya kehilangan kesadaran, disertai tingkah laku kacau seperti lip smaking, menarik-narik pakaian, atau menunjukkan jari. Kemudian kacau mental dan peka rangsang terjadi kemudian. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum. Dengan kejang pertama, seseorang dirawat dan mengalami pemeriksaan diagnostic lengkap untuk menentukan penyebab kejang.
RLP untuk diklasifikasi KDB dari epilepsi adalah 5,3 hari (Lorenz,1991). Tidak ada uji laboratorium untuk menegakkan diagnosa kejang. Diagnosa didasarkan pada observasi perilaku pasien.
6. Pemeriksaan Fisik
Pada pengkajian fisik secara umum, sering didapatkan pada awal pasca kejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penurunan kesadaran.

 B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien epilepsi disertai adanya gangguan pada sistem pernafasan.
 B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien epilepsi tahap lanjut apbila klien sudah mengalami syok.
 B3 (Brain)
Pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pada sistem lainnya.
 B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
 B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi aam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
 B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri.

Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I, biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II, tes pada ketajaman pengelihan pada kondisi normal
Saraf III, IV, VI, dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsi mengeluh mengalami fotofobia (sensitif yang berlebihan terhadap cahaya)
Saraf V, pada klien epilepsi pada umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelinaan.
Sraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII, tidak ditemukan adanya kondisi tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X, kemampuan menelan baik
Saraf XI, tidak ada atropi ototsternokleidomastoideus dan traezius.
Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal.
Fungsi serebral
Status mental, observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi, ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan prilaku, alam perasaan dan persepsi.,
Sistem motorik, kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada epilepsi tahap lanjut mengalami perubahan
Sistem sensorik, pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba normal, suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, perasaan proprioseptif normal dan perasaan diskriminatif normal. Peka rangsang cahaya merupakan tanda khas dari epilepsi. Pascakejang sering dikeluhkan adanya nyeri kepala yang bersifat akut.
Gerakan involunter, tidak ditemukan adanya tremor, Tic, distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, pada anak dengan epilepsi disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi,
Tingkat Kesadaran, kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.

7. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
- Mengalami complex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
- Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
5. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral
6. Magnetik resonance imaging (MRI)
7. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

8. Therapi/Tindakan Penanganan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Penatalaksanaan
o Farmakoterapi
- Anti konvulsion untuk mengontrol kejang
o Pembedahan
Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler
Jenis obat yang sering digunakan :
o Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
o Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
o Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.
o Carbamazine (tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku.Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
o Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.). Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
o Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
o Ethosuximide (zarontine).
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
o Na-valproat (dopakene)
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek samping mual, muntah, anorexia
o Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

o ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
9. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :
• Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama serangan mendadak, menyisipkan benda di mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak.
• Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut jika si anak tak bernapas.
10. Prognosis
Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi. Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah remisi.
Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang. Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada dilaporkan sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan intelektual. Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang berulang.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1.Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.

2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. keluhan utama pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun, demam, perasaan tidak enak badan, nyeri pada ektremitas.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah
6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
- Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
- Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
- Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
- Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
- Apakah pasien menggigit lidah.
- Apakah mulut berbuih.
- Apakah ada inkontinen urin.
- Apakah bibir atau muka berubah warna.
- Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
- Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya.
2. Sesudah serangan
- Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
- Apakah ada perubahan dalam gerakan.
- Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan.
- Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.
- Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
- Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
- Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
- Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
- Sejak kapan serangan terjadi.
- Pada usia berapa serangan pertama.
- Frekuensi serangan.
- Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.
- Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
- Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
- Apakah makan obat-obat tertentu
- Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

2. Diagnosa keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
b. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
c. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
d. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis
e. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi.
f. Termoregulasi tidak efektif
g. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
h. Defisit perawatan diri
i. Gangguan persepsi sensori auditori

DAFTAR PUSTAKA

Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Purnawan J. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius. FKUI.1982.
Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed4. Jakarta.
EGC. 1995.
Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC,
1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar