A. Definisi Berduka
Dukacita adalah respon
normal terhadap setiap kehilangan. Perilaku dan perasaan yang berkaitan dengan
proses berduka terjadi pada individu yang menderita kehilangan seperti
kehilangan fisisk atau kematian teman dekat
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah
tidur, dan lain-lain.
Berduka
merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada
dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang
dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan
secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional.
Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
B.
Jenis
Berduka
- Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan
reaksi yang normal terhadap kehilangan.Misalnya, kesedihan, kemarahan,
menangis, kesepian, dan menari diri dari aktivitas untuk sementara.
- Berduka antisipatif, yaitu proses’melepaskan diri’ yang
muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya
terjadi.Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan
memulai proses perpisahan dan menyesuaikan beragai urusan didunia sebelum
ajalnya tiba.
- Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit
untuk maju ke tahap berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung
seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang
bersangkutan dengan orang lain.
- Berduka tertutup, yaitu kedudukan akibat kehilangan
yang tidak dapat diakui secara terbuka.Contohnya:Kehilangan pasangan
karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang
kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.
C.
Teori
dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani
proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan
juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku
berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan
dalam bentuk empati.
1.
Teori Engels
Menurut
Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan
pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
- Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau
kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan.
Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung
cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
- Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan
kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan,
perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
- Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai
dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat
menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan
kehilangan seseorang.
- Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang
negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat
menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
- Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari
harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang
sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
Kerangka
kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross pada tahun 1969 adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah
tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi
kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak
akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b. Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan
dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga
mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi
kehilangan.
c. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat
perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada
tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d. Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari
dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini
memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan
masalah.
e. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan
interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada
bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.
3.
Teori Martocchio
Martocchio
(1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang
tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung
pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus
menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam
mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
1. Teori Rando
Rando
(1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a. Penghindaran
b. Pada tahap ini terjadi shock,
menyangkal dan tidak percaya.
c. Konfrontasi
d. Pada tahap ini terjadi luapan emosi
yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka
dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
e. Akomodasi
f. Pada tahap ini terjadi secara
bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional
dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.
D.
Respons
Berduka
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui
tahap-tahap berikut (Kubler-Ross, dalam Potter dan Perry,1997)
PengingkaranàMarahàTawaràMenawaràDepresiàPenerimaan
1.
Tahap Pengingkaran.
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya,
atau mengingkarikenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.Reaksi fisik
yang terjadi pada tahap ini adalah letih,lemah,pucat,mual,diare,gangguan
pernafasan,detak jantung cepat,menangis,gelisah,dan sering kali individu tidak
tahu harus berbuat apa.Reaksi ini dapat berlangsung selama beberapa menit
hingga beberapa tahun.
2.Tahap
Marah. Pada
tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri.Orang yang mengalami
kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat
tidak berkompeten. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah,
denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.
3.Tahap
Tawar-menawar.
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan
dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan
seolah kehilangan tersebut dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk
melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
4.Tahap
depresi. Pada
tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap
sangat menurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusan, rasa tidak berharga,
bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain
menolak makan, susah tidur, letih, dan lain-lain.
5.Tahap
Penerimaan.
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu
berpusat pada objek yg hilang akan mulai berkurang atau bahkan hilang.
Perhatiannya akan beralih pada objek yg baru.Apabila individu dapat memulai
tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri
proses kehilangan secara tuntas.Kegagalan untuk masuk ke proses ini akan
mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
E.
Tugas
Berduka :
Tugas 1 : menerima kenyataan akan merasa
kehilangan ,tugas 1 mluibatkan proses penerimaan bahwa individu atau objek tersebut
telah pergi dan tidak akan kembali.
Tugas 2 : melewati rasa nyeri akan
berduka , individu memberikan reaksi berupa kesedihan ,kesendiriaan
,keputusasaan, atau penyesalan dan akan bekerja melalui perasaan nyeri dengan
mengguna kan mekanisme adaptasi paling
di kenal dan nyaman bagi mereka.
Tugas 3: beradaptasi dengan lingkungan ,
dimana orang tersebut meninggal . seorang individu tidak menyadari sepenuhnya
dampak dari rasa kehilangan selama minimal 3 bulan . anggota keluarga atau
teman memberikan sedikit perhatian kepada individu yang merasa kehilangngan dalam jangka waktu yang sama., sebagaimana akhir dari rasa
kehilangan menjadi kenyataan.
F.
Faktor
– Faktor Yang Mempengaruhi Rasa Berduka .
1.
Perkembangan manusia , usia klien dan
tahap perkembangan mempengaruhi respon terhadap berduka .sebagai contoh : anak
–anak tidak dapat memahami rasa
kehilangan atau kematian, tapi sering merasakan kecemasan akibat kehilangan
objek dan terpisah dari orang tua.
2.
Hubungan personal : ketika rasa
kehilangan melibatkan individu lain,
berkualitas dan arti hubungan yang hilang akan mempengaruhi respon
terhadap berduka. Dukungan sosial dalam
pemulihan dar rasa kehilangan dan berduka.
3.
membantu perawat memahami secara lebih
baik damapak dirasa kehilangan pada prilaku kesehatan dan kesejahteraan
klien. Tekanan akbibat kematian yang tidak diharapkan dan
tiba-tiba memberikan tantangan yang berbeda
dibanding dengan kematian karena penyakit kronis.
4.
Stress koping : pengalaman hidup
memberikan strategi koping yang digunakan sesorang untuk mengatasi tekanan rasa
kehilangan. Ketika strategi koping yang biasanya tidak berhasil individu
memerlukan strategi yang baru.
5.
Status sosial ekonomi : status , sosial
ekonomi mempengaruhi kemampuan sesorang untuk memasukkan dukungan dan sunber
daya untuk beradaptasi dengan rasa kehilangan dan respon fisik terhadap
tekanan. Ketika individu kekurangan sumber daya financial beban kehilangan
menjadi berlipat. Sebagai contoh seorang klien dengan keterbatasan keuangan
tidak dapat mengganti mobil yang rusak akibat kecelakaaan dan membayar tagihan
pengobatanakinat kecelakaan tersebut.
6.
Budaya dan etnik : budaya seseorang dan
struktur sosial lainnya (misalnya keluarga atau keanggotaan keagamaan)
mempengaruhi interpretasi terhadp rasa kehilangan, membangun pengungkapan
berduka yang dapat diterima , serta menyelengarakan stabilitas dan struktur di
tengah kekacauan dan rasa kehilangan.
G.
Konsep Tentang Persiapan Selama
Berduka
1. Komunikasi
dengan Pasien dan Keluarga dalam Suasana Duka
Berkomunikasi
dengan pasien tidaklah mudah. Pengaruh gangguan fisik beserta
penatalaksanaannya maupun kondisi emosi yang menyertai serta terlalu banyaknya
beban fikiran, kemungkinan besar menyebabkan kurangnya fokus perhatian dalam
proses mendengarkan (sensory overload), gangguan dalam mengolah isi dan makna
pesan ( inti pembicaraan) sehingga tidak jarang menimbulkan salah persepsi dan
salah interpretasi sehingga terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan, dan
sering kali tidak tersimpan dengan baik dalam daya ingat (memory) sehingga
acapkali menjadi pencetus keretakan hubungan interpersonal di kemudian hari.
Karena
itu berkomunikasi dengan si sakit maupun keluarga harus berhati-hati. Pertama
yang harus diingat, jadilah pendengar yang baik. Untuk menghindari salah
persepsi dan salah mengambil keputusan seringlah mengulangi isi pesan yang akan
dikomunikasikan dengan kalimat pen dek tapi jelas, dengan contoh yang konkrit
dan diulangulang. Bantuan tulisan , denah/flow chart bahkan gambar dikertas
sangat membantu. Kertas tersebut juga dapat dipakai sebagai arsip, minimal
untuk mengingat kan kembali pembahasan yang terdahulu.
Komunikasi
juga dapat dilakukan secara non-verbal, bahkan lebih dipercaya daripada
komunikasi verbal. Bahasa tubuh penderita, misalnya perilaku sakit ( pain
behavior ) akan lebih mudah dipercaya, sebaliknya penampilan anggota tim medis
yang merawat juga dapat menimbulkan salah persepsi. Komunikasi dengan si sakit agak berbeda dengan
komunikasi antar teman sejawat ditempat kerjamisalnya, karena menc akup riwayat
sosial atau profil pasien dan riwayat spiritual. Riwayat sosial atau profil pasien
menurut Puchalski adalah sebagai berikut :
a. Gaya
hidup, situasi rumah dan ikatan keluarga (inti)
b. Ikatan
dengan orang/keluarga besar/organisasi yang penting
c. Hal
yang terkait dengan keagamaan, kepercayaan dan nilai hidup (religious &
belief system)
d. Kedudukan,
fungsi dan situasi pekerjaan
e. Fungsi
sosial (social interest/avocation )
f. Stres
kehidupan
g. Gaya
hidup yang berisiko : merokok, konsumsi alkohol/zat terlarang
Kebutuhan
si sakit akan mudah dapat ditangkap , dianalisis dan dibahas melalui komunikasi
efektif, dimana terdapat persyaratan jujur dan terbuka (genuiness ), tidak
posesif (non possessive love) dan empati.Ada persyaratan lain yang harus
dipenuhi, yaitu menjaga kerahasiaan. Banyak pasien yang menginginkan kondisi
terminalnya tidak disampaikan kepada keluarganya. Susah memang, tetapi
keinginan ini harusnya dipenuhi sebagai bagian dari etik keperawatan . Aspek
medikolegal juga harus diperhitungkan dalam menjaga kerahasiaan ini. Sebagai
contoh, bilamana kematian tetap tidak dapat dicegah dan jenis maupun kwalitas
perawatannya tidak sesuai dengan harapan keluarga ada kemungkinan ketidak
puasan ini dapat menjadi masalah dikemudian hari.
Komunikasi
dua arah antara pasien dan keluarga disatu pihak dan tim medis dip ihak lain
harus dapat menyimpulkan kondisi fisik dan emosi penderita sehingga perencanaan
akhir hayat dapat dilaksanakan dengan tepat. Agar isi pesan dapat diterima maka
jangan dilupakam kalau manus ia yang adalah mahluk biopsikososiospir itual,
memiliki 4 u nsur sehingga demensi penderita dengan keadaan terminal adalah :
a. Demensi
fisik : penyakit utama, nyeri dan gejala lain berikut penanganannya
b. Demensi
psikologis : gangguan suasana mood (cemas , depresi dan marah)
c. Demensi
sosial : kwalitas hubungan interpersonal terutama dengan keluarga inti ,isolasi
sosial dan kondisi ekonomi
d. Demensi spiritual : nilai/ tujuan hidup, ikatan
dengan leluhur dan kehidupan beragama.
2.
Pendampingan Saat Menyampaikan
Berita Duka
Tidak
semua penderita terminal mengerti tentang keadaan penyakit yang dideritanya
dengan sebenarnya. Ada dua kemungkinan, yaitu karena adanya ketidak-tahuan atau
adanya penyangkalan (denial) dari penderita. Pada umumnya dokter utama yang
merawat akan membuka/memberitahukan keadaan sebenarnya. Reaksi seseorang
tergantung apa yang dipersepsikannya. Reaksi
pertama dapat berupa shock mental yang
dapat berupa bingung lemas dan tak dapat merasakan apa apa (numbness),
ada pula yang langsung menangis dan menunjukkan ekspresi keputus -asaan
atausebaliknya ada yang langsung marah bahkan mengamuk.
Penderita
harus diberi kesemptan untuk mengekspresikan emosinya dan karena itu diperlukan
waktu untuk dapat menenangkan diri dan berfikir jernih kembali. Dibutuhkan
kesabaran dalam pendampingan dan diberikan tanpa pemaksaan. Apa yang harus
dilakukan adalah membantu penderita melalui tahap -tahap terhadap ancaman
kematian yang di lukiskan oleh Elizabeth Kubler -Ross dengan urutan tahap
penolakan (denial),tahap amarah (anger), tahap tawar menawar (bargaining),
tahap depresi dan tahap pasrah (acceptance).
Diharapkan
kemunduran kekuatan fisik maupun gangguan psikologis masih belum begitu parah
sehingga penderita masih dapat mengerjakan tugas-tugas akhir misalnya menulis
wasiat, memberikan wejangan, ilmu dan ke trampilan bahkan harta pada mereka
yang diingin kannya dengan fikiran yang jernih.Diantara penderita ada yang
menginginkan kes endirian , menyepi untuk mengembalikan semua energi agar dapat
bangkit kembali. Sementara itu ada yang terus men erus memerlukan pendampingan
dengan pelbagai alasan walaupun yang terbanyak adalah rasa takut berlebihan,
cemas dan putus asa. Dalam kondisi shock ini acapkali tim medis perlu
menimbulkan rasa percaya pada penderita dan keluarga sehingga dapat melakukan krisis
intervensi.
3.
Merencanakan Tugas Akhir Pasien dan
keluarga Dalam suasana Duka
Tujuan
perawatan akhir hayat adalah memberi kualitas hidup yang baik, sehingga
penderita masih dapat memiliki hidup
penuh arti (a meaningful life).
Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri. Dengan
modalitas fisik yang tersisa, kekuatan psikologis yang maksimal dan adanya
pengertian dan suport keluarga, penderita menyusun kembali nilai hidup atau
tujuan hidupnya se-realistis mungkin
agar dapat dilaksanakan.Hidup penuh arti yang sangat spesifik dan unik tidak
boleh dipengaruhi dan diintervensi oleh si pendamping kecuali bila yang
diinginkan itu tidak lazim dan tidak semestinya dilakukan berdasarkan
kepribadian dasar , tingkat pendidikan, kedudukan sosial, budaya setempat,
kondisi ekonomi dan kehidupan spiritual penderita.
Gangguan/penyakit
yang menimpa penderita menimbulkan krisis kehidupan dan perubahan besar
ditempat kerja. Bagi mereka yang menggunakan fungsi kognitif yang tinggi dan
terpaterinya hubungan interpersonal yang luas,inilah y ang merupakan merupakan
hidup pen uh arti dan sekaligus merupakan kekuatan hidup (Drench et al.2007).
Karena itu tugas pendamping bukan saja menghibur tetapi merubah pola fikir
dengan cara melihat apek kehidupan dari sudut pandang yang lain sehingga masih
m erasa berdaya guna. Proses inilah yang disebut cognitive reframing dan
merupakan inti dari pendampingan merencanakan sekaligus menyelesaikan tugas
akhir didunia ini.
Pendampingan
diakhir hayat hendaknya selalu mempertimbangkan kebutuhan si sakit, terutamadi
saat-saat penderita secara fisik sudah melemah. Sebagai manusia yang holistik,
maka perlu pendekatan secara holistik pula dengan memperhatikan
kebutuhan-kebutuhannya yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
a. Kebutuhan
fisik yaitu terbebasnya penderita dari berbagai macam keluhan atau
penderitaan/gejala fisik yang mengganggu. Perhatian dan pengamatan yang cermat
dan terinci terhadap setiap keluhan yang disampaikan penderita merupakan hal
yang penting untuk dapat membuat diagnosa yang tepat dan selanju tnya untuk
menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi keluhan tersebut.
b. Kebutuhan
psikologik berupa:
ü Rasa
aman dan nyaman karena keyakinan bahwa dirinya berada dalamperawatan oleh para
ahli yang kompeten dan keluarga/care giversyang peduli dengan kea daannya
ü Kebutuhan
untuk mengetahui tentang penyakit yang dideritanya sertagejala-gejala yang
sedang/akan dialaminya sehingga penderita tidak berada dalam keadaan
ketidak-pastian yang berkepanjangan
ü Penderita
juga ingin untuk tetap dihargai dan dianggap ma mpu, dengan cara melibatkannya
dalam mengambil keputusan -keputusanyang terkait dengan dirinya terutama bila
secara fisik ia menjadi sangat tergantung pada orang lain.
c. Kebutuhan
sosial :
ü Perasaan
tetap diterima oleh keluarga/care-givers-nya walaupun penampilan /perilakunya
sering kali tidak menyenangkan.
ü Perasaan
tetap dibutuhkan, dilibatkan dan diperhitungkan dalam keluarganya sehingga
penderita tidak merasa menjadi beban bagikeluarganya.
ü Kesempatan
bagi penderita untuk membebaskan diri dari keterikatannya dengan orang lain dan
dibebaskan dari berbagaitanggung jawab dalam pekerjaan/keluarga yang sebelumnya
dipikul penderita dengan menyerahkannya kepada orang lain.
d. Kebutuhan
spiritual :
ü Kasih
sayang yang diexpresikan secara nyata seperti jabat tangan, sentuhan, strokes
atau belaian.
ü Kesempatan
untuk memperbaiki hubungan -hubungan interpersonalyang terganggu diwaktu yang
lalu, serta mendapatkan pengampunan atas kesalahan-kesalahannya dimasa lalu.
ü Keyakinan
bahwa dirinya tetap dicintai dan dihargai.
ü Perasaan
bahwa hidupnya tetap mempunyai arah/tujuan yang jelas dan berarti bagi
sesamanya.
4.
Pendampingan Dalam Masa Berduka
Baik
penderita maupun keluarga pasti mengalami fase dukacita pasca breaking bad news
. Menjelang kematian ada fase mengantisipasi dukacita (anticipatory grief ) dan
setelah kematian penderita ada fase dukacita keluarga (conventional grief )
yang fase-fasenya seperti apa yang digambarkan Elizaberh Kubler -Ross. Lamanya
bisa berlangsung sampai 2 -3 tahun pascakematian.Sanders (1989) yang
mencetuskan Integrative theory of bereavement , mengatakan bahwa ada 5 tahapan
yang akan dilalui orang dalam berdukacita yaitu :
a. Tahap
Shock: ada rasa tidak percaya musibah terjadi pada dirinya, fase ini dilalui
dengan rasa tidak berdaya walaupun melakukan tugas sekecil apapun.
b. Tahap
mencapai kesadaran diri (awareness of loss ) : orang mulai menyadari bahwa
iakehilangan salah satu/beberapa aspek kehidupannya. Sering pemikiran yang
faktuil ini justru ditolak mereka yang terkena musibah.
c. Tahap
menarik diri (conversation an d withdrawal ) : fase ini dilalui dengan rasa
letih berlebihan, bertanya pada diri sendiri seputar rasa kehilangan t ersebut,
sering mengisolir diri dan menolak melakuk an pekerjaan bahkan yang dulu sangat
diminatinya.
d. Tahap
penyembuhan (healing) : fase ini
memperlihatkan orang yang mulai bangkit kembali dari keterpurukannya. Pada awal
fase ini orang acapkali merasa heran dengan dirinya yang mulai dapat tertawa,
bercanda bahkan kondisi ini acapkali menimbulkan rasa bersalah pada dirinya d
an acapkali membuatny a mundur kembali.
e. Tahap
lembaran baru (renewal ) : pada akhirnya
orang yang berduka cita mulai
melibatkan diri dalam semua aspek kehidupannya dengan kondisi barunya.
Dari
teori yang diajukan Sanders ini perlu diperhatikan penderita yang
mengantisipasi kematiannya dengan melalui tahap-tahap ini sebelum dapat
merencanakan tugas dan kewajiban akhirnya. Dalam hal pendampingan ini ,
penderita maupun keluarga butuh pengertian dan bukan pemaksaan kehendak pendamping
atau kehendak keluarga walaupun mungki n hal itu baikbaginya. Bila pendampingan
tidak baik maka ada kemungkinan tahap penyembuhan apalagi tahap lembaran baru
tidak tercapai sehingga tugas akhir penderita tidak terselesaikan.
Meninggal
dunia dengan kondisi dimana penderita sadar benar bahwa tugas dunianya tak
terselesaikan akan melibatkan emosi yang pasti akan mengganggu tahap
kematiannya. Kondisi ini sering disebut sebagai the unfinished bussiness suatu
kondisi berlawanan dengan kematian dalam iman yang sering disebut good-death.Mendampingi penderita bukanlah hal
yang mudah.
Pengasuh
(caregiver ) sering mengeluhkan kondisi perubahan negatif perilaku penderita
pada tim dokter. Kegelisahan penderita menyebabkan perlunya penambahan energi
fisik dan pemusatan perhatian di pihak pengasuh . Kegelisahan mungki n karena
distress penderita mengenai keadaannya yang buruk. Tetapiperilaku “manis” yang
ditunjukkan dengan berdiam diri, pasif , kecend erungan mengisolir diri, serta
menolak makan dan minum juga bukan hal yang baik.
Sering
kali kondisi delierium dan depresi berat ditunjukkan dengan penelantaran diri
seperti perilaku manis tadi. Hati-hatilah dengan penelantaran dan penyiksaan
diri, karena hal ini kemungkinan juga merupakan upayabunuh diri yang
terselubung. Reaksi keluarga pada saat ditinggalkan penderita bermacam macam,
reaksi psikologis seperti sedih, marah , kecewa dan reaksi fisik sep erti rasa
lelah, sesak napas, sukar menelan dsb.
Bagi
keluarga yang ditinggalkan bila pendampingan duka cita tidak terlaksana dengan
baik juga akan menimbulkan kondisi dukacit a yang tidak baik bahkan potensial
menimbulkan gangguan jiwa. Sebagai contoh bila tahap dukacita berhenti pada
keadaan penarikan diri maka akan terjadi gangguan neurosis atau psikosomatis.
Keadaan dimana anggauta keluarga selalu dalam kondisi cemas dan depresi atau
mengidap gangguan fisik akibat tekanan jiwanya (misalnya dikalangan awam “sakit
maag”) dan hal ini pasti mengganggu fungsi kehidupan.Worden (2002), memberi 4
gambaran tugas dalam berduka cita (Task of Mourning ) yaitu :
a. Menerima
rasa kehilangan (accept the reality of
loss )
b. Menjalani
rasa nyeri yang berhubungan dengan dukacita ini ( experience the pain
associated with grief )
c. Menyesuaikan
diri dengan kehidupan/lingkun gan baru setelah ditinggalkan (adjust to
circumstances created by loss )
d. Melanjutkan
jalannya roda kehidupan tanpa yang telah meninggal ( emotionallyrelocate the
person who has died and progress with life )Bilamana terjadi hambatan dalam
masa dukacita ini maka dapat terjadi griefing yang abnormal atau complicated
mourning dalam bentuk sebagai berikut :
ü Chronic
grief reactions
ü Delayed
grief reactions
ü Exaggerated
grief reactions
ü Masked
grief reactions
5.
Pendampingan Saat Kematian
Skala
status penampilan Karnofski adalah salah satu alat ukur untuk menilai kualitas
hidup seseorang dengan menilai status penampilan fungsionalnya. Skala ini
mengukur kemampuan penderita dalam melakukan aktifitas hidup sehari -hari dan
nilainya berkisar antara 0 -100. Skala ini juga dapat dipakai untuk menilai
manfaat suatu tindakan terapi/pengobatan dengan membandingkan nilai sebelum dan
sesudah suatu tindakan, tetapi tidak memberikan gambaran tentang tingkat
keparahan suatu penyakit. Bersama dengan penilaian lain seperti stadium
penyakit maka skala ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kondisi terminal
yang perlu mendapatkan perhatian kita.
Skala status penampilan Karnofsky dap at dilihat pada tabel terlampir Silvya
Post (dalam Mahajudin 2007) mengatakan lebih 70% penderita sangat
ketakutanmenjelang ajal sehingga mereka pasti perlu pendampingan.
Acap
kali dalam kesadaran menurun indra pendengaran tetap berfungsi sehingga tidak
salah membisikkan hal -hal positif maupun ayat suci (yang pendek) agar dapat
diresapi sampai akhir hayat. Tugas tim medis pada saat kematian adalah
meniadakan atau mengurangi rasa nyeri a tau gejala lain agar penderita masih
mendapatkan kwalitas hidup yang maksimal. Tetapi acapkali penderita justru
mengalami kebingungan menjelang terminal ( terminal confusion ), depresi atau
kecemasan.
Terminal
confusion ialah keadaan kebingungan pada pende rita stadium terminal yang
disebabkan karena perubahan akut yang menyeluruh/global pada fungsi kognitif
dan hal ini sering kalimerupakan pertanda awal kematian yang makin mendekat.
Kondisi ini sering kali juga disebut delirium, acute confusional state, ac ute
organic brain syndrome atau toxic confusional state.Tidak ada gejala yang
khas/patognomonik pada kondisi ini tetapi J.C.Cutting mengemukakan adanya
beberapa gejala yang sering dijumpai seperti :
a. gangguan
recall 5 menit untuk nama dan alamat ( 80% )
b. gangguan
kesadaran ( 60% )
c. disorientasi
waktu ( 40% )
d. disorientasi
tempat ( 30% ).
Z.J.Lipowski
mengemukakan 2 tipe delirium yaitu yang hipoaktif dan hiperaktif. Tipe
hipoaktif ditandai dengan penurunan aktifitas psikomotorik, penurunan respons
terhadaprangsangan dari luar ( penurunan atensi dan kesadaran ) dan jarang
didapatkan gejala -gejalapsikotik. Pada tipe hiperaktif sering kali terlihat
peningkatan aktifitas psikomotorik, peningkatan respons ( hyperalert dan
agitasi ) dan sering dijumpai gejala psikotik. Gejala hiperaktif biasanya
didahului oleh gejala hipoaktif karena secara klinis gejala ini cenderung
berfluktuasi. Dalam hal ini catatan harian yang cermat oleh perawat atau
keluarga/care-giversangat penting untuk penegakan diagnosis, terlebih dahulu
harus disingkirkan berbagai faktor etiologi yang sering menjadi penyebab
delirium yang biasanya multifaktorial antara lain obat -obatan yang dipakai
penderita, infeksi, kelainan metabolik ( hiperkalsemia, hipoglikemia ), tumor
serebri, nyeri, kandung kemih/rektum yang penuh, dan juga gangguan fungsi hati
dan ginjal, gagaljantung, hipoksia karena gagal pernafasan, CVA, epilepsi dan
sebagainya. Terapi spesifik untuk penyebab yang reversibel merupakan hal yang
utama.
Selanjutnya
terminal confusionperlu diatasi secara simptomatis dan adekuat hanya bila
gejala tersebut menimbulkan gangguan dan penderitaan bagi penderita. Perlu juga
dilakukan tindakan non -farmakologik sepertimenciptakan lingkungan yang tenang
dan terang, komunikasi yang efektif dan lain- lain.Kebanyakan penderita dengan
penyakit khronis yang serius menunjukkan tanda-tanda kesedihan, cemas dan
gejala -gejala depresi. Tanda dan gejala ini biasanya berlangsung
singkatsebagai reaksi terhadap situasi yang dihadapinya dan bila persisten
harus d inilai sebagai halyang abnormal dan perlu mendapatkan perhatian secara
khusus.
Depresi
yang berkepanjangan dapat menjadi sumber penderitaan dan karenanya perlu
dinilai dan dideteksi secara dini. Lagi pula semakin dini diagnosis ditegakkan
semakin baik pul a responsnya terhadap terapi yangdiberikan. Faktor risiko
untuk terjadinya depresi antara lain rasa nyeri yang tidak terkontrol dengan
baik, hendaya fisik yang progresif dan tingkat keparahan penyakit yang
dideritanya, riwayat depresi diwaktu yang lalu, obat-obatan yang dipakai
(steroid, benzodiazepine) serta depresi yang secara langsung disebabkan oleh
penyakitnya ( kanker pankreas, stroke pada hemisfer kiri ). Juga faktor sosial
dan spiritual dapat menimbulkan depresi pada penderita.
Penilaian
adanya depresi pada penderita dengan penyakit yang sudah lanjut tidak
hanyaberdasarkan gejala somatiknya (nafsu makan/berat badan/libido yang
menurun, cepat lelah serta gangguan tidur) tetapi juga gejala psikologik dan
kognitifnya. Gejala depresi mayor yangmenonjol antara lain disforia yang
persisten, anhedonia, rasa tidak berdaya dan putus asa, rasa tidak berharga dan
hilangnya self-esteem, rasa bersalah yang berlebihan, kekecewaan yang mendalam,
pikiran yang berulang tentang kematian serta fikiran bunuh diri. T anda lain
seperti rasa nyeri yang tidak responsif terhadap pengobatan, perasaan sedih
dengan afek yang datar serta kecemasan, iritabilitas dan mood yang tidak nyaman
juga merupakan tanda yang signifikan. Penatalaksanaan depresi pada penderita
terminal meli puti pendekatan non farmakologik seperti psikoterapi suportif,
pendekatan kognitif, intervensi perilaku (terapi relaksasi, terapi distraksi)
dan pendekatan komplementer/alternatif serta pemberian antidepresan dan
psikostimulan. Mulailah dengan dosis rendah dan perlahan-lahan dosisdititrasi
sesuai dengan kebutuhan.
Penderita
dengan penyakit yang mengancam hidupnya sering mengalami kecemasan tentang hari
depannya yang tidak pasti. Kondisi ini dapat dipicu oleh berbagai masalah
fisik, psikologik, sosial, spi ritual dan masalah praktis lain atau merupakan
bagian dari sindroma lain yang menyertai penyakitnya, dan ditandai dengan
gejala -gejala agitasi, gelisah, berkeringat, tachikardia, hiperventilasi,
insomnia, khawatir yang berlebihan dan ketegangan. Perlu dibedakan antara
kecemasan yang primer dan depresi, delirium, gangguan bipolar atau efek samping
obat.
Penatalaksanaan
kecemasan meliputi pendekatan non -farmakologik (termasuk pendekatan
komplementer/alternatif) dan farmakologik. Dalam pendekatan farmakologik ,
golongan benzodiazepin merupakan obat pilihan, namun perlu diperhatikan waktu
paruhnya yang harusdisesuaikan dengan kebutuhannya. Benzodiazepin dengan waktu
paruh panjang akan memberikan efek yang berkepanjangan dan risiko akumulasi
sedangkan yang waktu paruhnya pendek ada risiko terjadinya withdrawal dan efek
rebound. Pada lanjut usia, benzodiazepine dapat memperburuk fungsi kognitif
atau menyebabkan kebingungan pada penderita yang sebelumnya sudah mengalami
hendaya kognitif. Obat yang manapun yang dipi lih harus diberikan dengan
prinsip start low – go slow, dan penghentiannya harus melalui periodetapering
off secara perlahan-lahan. Antidepresan atipikal juga bermanfaat terutama
padapenderita dengan gejala campuran cemas dan depresi, kecemasan khronik d an
gangguan panik.