BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam perkembangan manusia mulai dari prenatal hingga lanjut
usia mengalami perkembangan agama yang selalu mengikuti seperti pada saat
manusia itu dilahirkan pasti akan mengikuti agama yang dianut oleh orang tuanya
karena hanya orang tuanya yang menjadikan anak itu islam, majusi, yahudi atau
nasrani tetapi ketika manusia itu sudah menginjak usia remaja maka dia akan mulai berpikir
secara mandiri bagaimana cara mengimplementasikan ajaran agama yang dianutnya
dalam khidupan sehari-harinya hingga dia menginjak usia dewasa maka dia akan
lebih matang dalam beragama.
Manusia dilahirkan di dunia ini dalam
keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia
telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini
memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap
lebih-lebih pada usia dini. Fisik atau jasmani manusia baru akan berfungsi
secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun
baru akan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat
diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya. Kemampuan itu tidak dapat
dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui pentahapan. Demikian juga
perkembangan agama pada diri anak.
Perasaan anak terhadap orang tuanya
sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi
dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana
hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik,
akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang
dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan
bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
B.
Tujuan
Berdasarkan
latarbelakang diatas, masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu
1.
Bagaimana perkembangan
beragama pada anak, remaja dan dewasa?
2.
Apa saja faktor-faktor
dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak, remaja, dan
dewasa?
3.
Bagaimana tahap-tahap
perkembangan beragama pada anak ?
4.
Bagaimana sifat agama
pada anak?
5.
Apa saja masalah dalam
kesadaran beragama?
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui perkembangan
beragama pada anak, remaja dan dewasa.
2.
Untuk mengetahui
faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan anak,
remaja dan dewasa.
3.
Untuk mengetahui tahap-
tahap perkembangan beragama pada anak.
4.
Untuk mengetahui sifat
agama pada anak.
5.
Untuk mengetahui
masalah dalam kesadaran beragama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Beragama
Jiwa beragama atau kesadaran beragama
merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada
Tuhan yang direfleksikan kedalam pribadaan kepadanya. Perkembangan beragama
dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan. Faktor pembawaan dan
lingkungan yang mempengaruhinya yaitu:
1.
Faktor endogen yaitu
faktor atau sifat yang dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga
kelahiran, jadi faktor endogen merupakan factor keturunan/ faktor pembawaan.
2.
Faktor eksogen yaitu
faktor yang datang dari luar individu, merupakan pengalaman alam sekitar,
pendidikan dan sebagainya.
1.
Agama pada masa anak-
anak
Jika
mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, yang dimaksud
dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Dalam masa ini terdiri
dari tiga tahapan:
a.
0 – 2 tahun (masa
vital)
b.
2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
c.
6 – 12 tahun (masa
sekolah)
Anak
mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam
lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada
permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta
diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap
pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya
kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun,
setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh
emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah
perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.
Menurut
Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada
dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan
kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya.
Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah
karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa
aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan
yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si
anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya
dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
2.
Perkembangan
keberagamaan pada remaja dan dewasa
Perkembangan
agama pada remaja ditandai dengan tingkah remaja yang berpendapat bahwa agama
adalah omong kosong, mengingkari pentingnya agama dan menolak
kepercayaan-kepercayaan terdahulu. Masa remaja disini dibagi menjadi 2 yaitu :
a.
Masa remaja awal (sekitar usia
13-16 tahun)
Pada masa ini kepercayaan
kepada tuhan kadang-kadang sangat kuat ,akan tetapi kadang sangat berkurang. Hal ini dapat terlihat pada cara beribadah kadang rajin kadang juga malas.
Kegoncangan dalam keberagamaan ini muncul karena disebabkan faktor internal maupun eksternal.
b.
Masa remaja akhir (17-21
tahun)
Secara psikologis , masa ini merupakan permulaan masa dewasa , emosinya
mulai stabil dan pemikirannya kritis. Dalam kehidupan beragama, remaja
sudah mulai melibatkan diri kedalam kegiatan-kegiata keberagamaan dan dapat
membedakan agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai penganutnya diantaranya
ada yang shalih dan tidak.
Perkembangan
pikiran dan mental, ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari
masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik lagi bagi mereka. Sifat kritis
terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah
tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan
lainnya. Agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak
berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya
agama yang ajaranya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah
merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak
meninggalkan ajaran agamanya.
Perkembangan
perasaan, berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja, perasaan sosial,
etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati kehidupan yang terbiasa
dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih
dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya bagi mereka yang kurang
mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi
dorongan seksual. Karena masa remaja merupakan masa kematangan seksual didorong
perasaan ingin tahu remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang
negatif.
Perkembangan
keberagamaan pada orang dewasa jauh lebih mantap ke dalam bentuk tekun
beribadah dengan ikhlas. Maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Menerima kebenaran
agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang bukan sekedar ikut-ikutan
b.
Cenderung bersifat
realis sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan
tingkah laku
c.
Bersikap positif
terhadap ajaran dan norma-norma agama, berusaha untuk mempelajari dan
memperdalam pemahaman keagamaan;
d.
Tingkat ketaatan
beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab hingga sikap
keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup
e.
Bersikap lebih kritis
terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan
atas pertimbangan pikiran juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani
f.
Terlihat adanya
pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami dan melaksanakan ajaran agama
yang diyakininya
B.
Faktor-Faktor
Dominan Yang Mempengaruhi Perkembangan Jiwa Keagamaan
1.
Pada anak - anak
Ada beberapa faktor
dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak , antara lain :
a.
Menurut Teori four
wishes yang dikemukakan oleh perkembangan jiwa keagamaan anak adalah
“rasa ketergantungan (sense of defence)”.
Menurut teori ini, manusia dilahirkan kedunia memiliki empat keinginan, yaitu :
1)
Security yaitu
keinginan untuk mendapatkan perlindungan
2)
New
experience yaitu keinginan untuk mendapat pengalaman
3)
Response yaitu keinginan
untuk mendapatkan tanggapan
4)
Recognition yaitu keinginan
untuk dikenal
Kerjasama dalam rangka memenuhi
keinginan-keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan,
terutama orang-orang dewasa dalam lingkungannya itu maka terbentuklah rasa
keagamaan pada diri anak.
b.
Instink keagamaan
Pendapat ini
dikemukakan oleh Woodworth, menurutnya, bayi yang dilahirkan sudah memiliki
instink, diantaranya instink keagamaan, namun instink ini pada saat bayi belum
terlihat, hal itu dikarenakan “beberapa fungsi kejiwaan yang menopang
kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna”. Pandangan Woodworth ini
mendapat sanggahan dari sekelompok ahli dengan mengajukan argumentasi:
1)
Jika anak sudah memiliki instink
keagamaan, mengapa orang tidak terhayati secara ototmatis ketika mendengar
lonceng gereja dibunyikan.
2)
Jika anak sudah memiliki instink
keagamaan, mengapa terdapat perbedaan agama di dunia ini? Bukankah cara
berenang itik dan cara brung membuat sarang yang didasari pada tingkahlaku
instingtif akan sama caranya disetiap penjuru duia ini? (Jalaluddin.
2002:65-66).
2.
Pada remaja dan dewasa
Jiwa keagamaan juga mengalami
proses perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan. Dengan demikian jiwa
keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi
perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri
seseorang (intern) maupun yang bersumber dari faktor luar (ekstern).
a.
Faktor intern
Secara
garis besarnya faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan antara lain :
1)
Faktor kognitif,
mengacu pada remaja yang memiliki mental masih abstrak, mereka hanya mengkaji
isu-isu agama dengan berpatokan pada dasar-dasar agama tanpa memperdalaminya
lebih lanjut.
2)
Faktor personal,
mengacu pada konsep individual dan identitas, individual maksudnya seseorang
itu selalu menyendiri sedangkan identitas maksudnya proses menuju pada
kestabilan jiwa.
3)
Faktor hereditas,
perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan akan menimbulkan rasa bersalah
dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama
maka akan timbul rasa berdosa dan perasaan seperti ini yang ikut mempengaruhi
perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
4)
Tingkat usia, pada usia
remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual mempengaruhi perkembangan
jiwa keagamaan mereka. Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para
remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan yang cenderung mempengaruhi terjadinya
konversi agama. Bahkan pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal
terjadinya konversi agama meskipun konversi cenderung dinilai sebagai produk
sugesti dan bukan akibat dari perkembangan kehidupan spiritual seseorang.
5)
Kepribadian, dalam
kondisi normal secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian dan
perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek
kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu dijumpai pula kondisi kepribadian
yang menyimpang seperti kepribadian ganda dan sebagainya kondisi seperti ini juga
ikut mempengaruhi perkembangan berbagai aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
6)
Kondisi kejiwaan,
seorang yang mengidap schizoprenia akan mengisolasi diri dari kehidupan sosial
serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh berbagai halusinasi.
Demikian
pula pengidap phobia akan dicekam oleh perasaan takut yang irasional sedangkan
penderita infantil autisme (berperilaku seperti anak-anak) akan berperilaku
seperti anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.
b.
Faktor ekstern
Faktor
ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat
dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan
tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:
1)
Lingkungan keluarga,
konsep father image (citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan
dipengaruhi oleh citra terhadap bapaknya. Kehidupan keluarga menjadi fase
sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan. Pengaruh kedua orang tua
terhadap perkembangan jiwa keagamaan dalam pandangan Islam sudah lama disadari.
Oleh karena itu sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan
tersebut kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab. Keluarga dinilai
sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan
jiwa keagamaan.
2)
Lingkungan
institusional, yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa kegamaan dapat berupa
institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai
perkumpulan dan organisasi. Kurikulum, hubungan guru dan murid serta hubungan
antar teman dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya
ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh sebab pada prinsipnya perkembangan
jiwa keagaman tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian
yang luhur. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat
kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
3)
Lingkungan masyarakat,
yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi
perkembangan jiwa keberagamaan sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam
tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini akan berpengaruh
dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
C.
Tahap-Tahap
Perkembangan Beragama
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan
jiwa beragama dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.
Tingkat Dongeng ( The Fairly Tale Stage )
Pada tahap ini anak yang berumur 3-6
tahun konsep mengenal Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi sehingga
dalam menanggapi agama, anak masih menggunakan konsep fantastik, yang diliputi
oleh dongeng-dongeng. Menurut hasil penelitian Dr. Hanni mengindikasikan bahwa
kemampuan berfikir tentang konsep agama pada anak sangat sedikit, kalau tidak
dikatakan tidak ada artinya dan itu hanyalah permainan bebas dari fantasi dan
emosinya. Hal ini menjadi wajar, karena konsep agama biasanya cukup rumit dan
mengatasi daya tangkap intelektual anak, sehingga terjadi penerimaan atau
penolakan itu merupakan hal yang wajar. Dan itu terjadi tentunya bukan
pemahaman secara intelektual melainkan pada alasan lain.
Pada usia ini, perhatian anak lebih
tertuju pada pemuka agama daripada isi ajarannya, dan cerita akan lebih menarik
jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa
kanak-kanaknya.
2.
Tingkat Kepercayaan (The Realistic Stage)
Pada fase ini ide-ide
tentang Tuhan muncul dan telah tercermin dalam konsep yang realistik, dan
biasanya muncul dari lembaga agama atau pengajaran orang dewasa. Ide keagamaan
muncul dari anak didasarkan atas emosional, sehingga melahirkan konsep Tuhan
yang formalis. Tahap ini dimulai sejak usia masuk sekolah 7 tahun. Yang perlu
dicatat pada tahap ini adalah bahwa pada tahap usia tujuh tahun dipandang
sebagai permulaan perturnbuhan logis, sehingga wajar ketika Rosulullah
mernerintahkan untuk menyuruh anak-anak umatnya untuk melaksanakan shalat pada
usia tujuh tahun dan memberi sanksi berupa pukulan apabila melanggarnya.
3.
Tingkat Individu ( The Individual Stage )
Pada tingkat ini, anak
telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia
mereka. Konsep keagamaan yang individualistic
ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu :
a.
Konsep ketuhanan yang
konvensioal adan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi
b.
Konsep ketuhanan yang
lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal
c.
Konsep ketuhanan yang
humanistik yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam
menghayati ajaran agama
D.
Sifat-Sifat
Agama Pada Anak
Ide
keagamaan pda anak tumbuh mengikuti pola “ideal concept in authoristy”, artinya
konsep keagamaan anak dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Jadi
ketaatan anak-anak pada ajaran agama merupakan dampak dari apa yang mereka
lihat, mereka pelajari dan dibiasakan oleh orang-orang dewasa atau orang tua di
lingkungannya. Berdasarkan konsep itu maka sifat
dan bentuk agama anak-anak dapat dibagi atas:
1.
Unreflective (tidak mendalam)
Hal ini
ditunjukkan dengan kebenaran ajaran agama diterima anak tanpa kritik, tidak
begitu mendalam dan sekedarnya saja. Mereka sudah cukup puas dengan
keterangan-keterangan walau tidak masuk akal.
2.
Egosenris
Hal ini ditunjukkan dengan dalam
melaksanakan ajaran agama anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya. Anak
lebih menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
Misalnya: anak berdo’a/sholat yang dilakukan utuk mencapai keinginan-keinginan
pribadi.
3.
Anthromorphis
Hal ini ditunjukkan dengan konsep
anak dengan Tuhan tmpak seperti menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Dengan
kata lain keadaan Tuhan sama dengan manusia, misalnya pekerjaan Tuhan mencari
dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu berada dalam tempat
yang gelap. Menurut hasil penelitian Praff, anak usia 6 tahun menggambarkan
Tuhan seperti manusia yang mempunyai wajah, telinga yang lebar dan besar. Tuhan
tidak makan tapi hanya minum embun saja. Jadi konsep Tuhan dibentuk sendiri
berdasarkan fantasi masing-masing.
4.
Verbal dan ritual
Hal ini ditunjukkan dengan : menghapal
secara verbal kalimat-kalimat keagamaan. Mengerjakan amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan
5.
Imitatif
Hal ini ditunjukkan dengan anak suka meniru tindakan
keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang dilingkungannya (orang tua).
6.
Rasa Heran
Ini merupakan
sifat keagamaan yang terakhir pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan anak
mengagumi keindahan-keindahanlahiriah pada ciptaan Tuhan, namun rasa kagum ini
belum kritis dan kratif.
E.
Masalah
dalam kesadaran beragama
Dalam
perkembangan beragama terdapat beberapa masalah yang muncul. Masalah ini
biasanya berupa problem keimanan, yaitu :
1.
Proses perkembangan keimanan
Manusia itu dilahirkan membawa dua potensi atau
disposisi yang sama-sama berkembang. Dua disposisi tersebut adalah takwa dan
fujur. Fujur merupakan disposisi yang mendorong individu untuk berkembang
menjadi jahat. Sedangkan takwa merupakan disposisi yang mendorong individu
untuk berkembang menjadi baik. Apabila kedua potensi tersebut dalam
perkembangannya berlangsung secara alami, maka potensi takwa akan mewujud dalam
bentuk sikap, keyakinan atau kepercayaan. Contohnya seperti terjadi pada
masyarakat primitif yang menganutu animisme atau dinamisme. Sedangkan yang
fujur tampak dalam wujud perilaku impulsif atau perilaku naluriah yang
berlangsung tanpa pertimbangan akal sehat atau norma agama.
2.
Konflik keyakinan dengan situasi
kehidupan sosial
Masalah
besar yang terjadi dalam kehidupan adalah munculnya berbagai kondisi yang
bertentangan dengan nilai-nilai keimanan atau agama yang dianut. Bagi mereka
yang kehidupan beragamanya masih labil, kondisi ini akan menimbulkan konflik
dalam dirinya, yang apabila kurang mendapat bimbingan akan cenderung terjerumus
kedalam kondisi tersebut.
Korban
akibat kondisi tersebut tidak hanya pada orang dewasa (dengan perilaku kolusi,
penyalahgunaan wewenang atau pelecehan seksual), tetapi dapat juga terjadi pada
remaja. Remaja yang kadar keimanannya masih labil akan mudah terjangkit konflik
batin dalam berhadapan dengan kondisi lingkungan yang menyajikan berbagai hal
yang menarik hati/keinginannya, tetapi kondisi ini bertentangan dengan norma
agama. Kondisi lingkungan yan memiliki daya tarik bagi remaja tetapi
bertentangan dengan norma agama itu diantaranya film-film atau foto porno,
minuman keras, ganja atau narkotika, model pakaian, kehidupan malam dan
pemakaian alat kontrasepsi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama pada masa anak-anak terbentuk
melalui pengalaman-pengalaman yang diterima dari lingkungan lalu terbentuk
sifat keagamaan pada anak, Woodwort berpendapat bahwa bayi memiliki insting
keagamaan, akan tetapi disanggah oleh pemikir Islam bahwa bayi tidak mempunyai
insting keagamaan melainkan itu merupakan fitrah yang cenderung kearah potensi
keagamaan.
Tahap perkembangan keagamaan pada anak
melalui tiga tahapan yaitu tingkat dongeng, tingkat kepercayaan, dan tingkat
individu. Sifat Agama pada anak mengikuti pola concept on authority yaitu
konsep keagamaan yang dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka (anak) itu
sendiri. Memahami sifat agama pada anak berarti memahami sifat agama itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf,
Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak &
Remaja, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya,2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar